Said Abdullah: Pemerintah Perlu Siapkan Mitigasi Komprehensif Dampak Kenaikan PPN 12 Persen
KOMPAS.com - Ketua Badan Anggaran (Banggar) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Said Abdullah meminta pemerintah menyiapkan kebijakan mitigasi yang komprehensif terkait rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen.
Permintaan itu disampaikan menyusul data realisasi penerimaan pajak per 31 Oktober 2024 yang baru mencapai Rp 1.517,53 triliun atau 76,3 persen dari target 2024. Kondisi ini menunjukkan adanya tantangan besar dalam menjaga keseimbangan anggaran negara, terutama untuk mendanai berbagai program yang dibutuhkan masyarakat.
"Kami memahami kebijakan kenaikan PPN 12 persen akan mempengaruhi daya beli, terutama bagi kelas menengah dan masyarakat miskin. Untuk itu, pemerintah perlu menjalankan kebijakan mitigasi secara komprehensif," kata Said dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Minggu (8/12/2024).
Said menjelaskan, kenaikan PPN menjadi 12 persen merupakan amanat Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan dan merupakan keputusan bersama antara seluruh fraksi di DPR dan pemerintah.
"Kebijakan tersebut bertujuan agar mereka yang memiliki kemampuan ekonomi lebih tinggi dapat berkontribusi lebih besar terhadap penerimaan negara, yang nantinya akan dikembalikan kepada masyarakat dalam bentuk berbagai program sosial," ujarnya.
Meski ada penyesuaian tarif PPN, sejumlah barang kebutuhan pokok tetap dibebaskan dari PPN. Barang-barang tersebut meliputi beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, dan garam beryodium ataupun tidak beryodium.
Selain itu, pembebasan PPN juga berlaku untuk daging segar yang telah melalui penyembelihan dan pengolahan dasar, telur yang tidak diolah termasuk yang dibersihkan dan diasinkan, susu perah yang didinginkan atau dipanaskan tanpa tambahan gula, buah-buahan segar yang telah melalui pencucian dan pengemasan, serta sayuran segar termasuk yang dicacah.
Di sisi lain, barang mewah akan dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) ditambah PPN 12 persen, termasuk kendaraan, rumah, dan barang konsumsi kelas atas.
"Jika hanya PPnBM saja yang dinaikkan, tidak akan mampu mendongkrak target penerimaan pajak tahun 2025 sesuai UU APBN 2025. Sebab, PPnBM rata-rata sejak 2013-2022 dari pos penerimaan tidak sampai 2 persen, hanya 1,3 persen (PPnBM dalam negeri + PPnBM impor)," jelasnya.
Said merinci, penerimaan pajak akan dialokasikan untuk program prioritas 2025, seperti Makan Bergizi gratis (Rp 71 triliun), Pemeriksaan Kesehatan Gratis (Rp 3,2 triliun), Pembangunan Rumah Sakit Lengkap Berkualitas di daerah (Rp 1,8 triliun), Renovasi Sekolah (Rp 20 triliun), serta Lumbung Pangan Nasional, Daerah dan Desa (Rp 15 triliun).
“Semua dikembalikan kepada masyarakat melalui berbagai program yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup dan memperkecil kesenjangan sosial ekonomi. Ini adalah wujud nyata negara berperan dalam distribusi kekayaan, memastikan pajak yang dipungut lebih besar dari mereka yang memiliki kapasitas lebih tinggi,” tambahnya.
Banggar DPR mencatat, sejak 2018 hingga 2023, jumlah penduduk kelas menengah Indonesia menurun sebesar 9 juta jiwa, dari 61 juta menjadi 52 juta jiwa. Hal ini berdampak pada penurunan proporsi tabungan terhadap total pengeluaran.
Untuk mengantisipasi dampak kenaikan PPN, Said mengusulkan delapan kebijakan mitigasi. Pertama, penambahan anggaran perlindungan sosial dengan memperluas jumlah penerima manfaat secara tepat waktu dan tepat sasaran, tidak hanya untuk rumah tangga miskin tetapi juga hampir miskin atau rentan miskin.
Kedua, mempertahankan subsidi bahan bakar minyak (BBM), gas LPG, dan listrik untuk rumah tangga miskin, termasuk pengemudi ojek online, bahkan bila perlu menjangkau kelompok menengah bawah.
Ketiga, memperluas subsidi transportasi umum untuk moda transportasi massal sehari-hari. Keempat, memberikan subsidi perumahan untuk kelas menengah bawah.
Kelima, memperkuat bantuan pendidikan dan beasiswa perguruan tinggi yang menjangkau lebih banyak kalangan menengah bawah. Keenam, melakukan operasi pasar rutin minimal dua bulan sekali untuk mengendalikan inflasi.
Ketujuh, meningkatkan penggunaan produk usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah dari minimal 40 persen menjadi 50 persen untuk produk usaha mikro, kecil dan koperasi dari hasil produksi dalam negeri.
"Kebijakan kedelapan adalah meluncurkan program pelatihan keterampilan dan pemberdayaan ekonomi untuk kelas menengah yang terdampak. Program ini juga bisa disinkronisasi dengan penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR)," tutur Said.