Saksi Sebut Dana Komando di Basarnas Besarnya 10 Persen dari Nilai Proyek
JAKARTA, KOMPAS.com - Mantan staf Biro Perencanaan Keuangan Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas), Rahmat Istiawan menyebut, jumlah dana komando (Dako) yang disetorkan pihak swasta berkisar 7 sampai 10 persen dari nilai proyek.
Adapun dana komando merupakan uang yang disetorkan oleh perusahaan yang memenangkan lelang proyek pengadaan di lingkungan Basarnas.
Keterangan ini Ramhat sampaikan saat dihadirkan sebagai saksi dugaan korupsi pengadaan truk angkut personel 4WD dan rescue carrier vehicle (RCV) tahun anggaran 2014 di Basarnas.
"Besarnya berapa?" tanya Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Senin (13/1/2025).
"Yang saya dengar dari almarhum (atasan di kantor) itu 7 sampai 10 (persen), pasnya berapa saya tidak tahu Yang Mulia," jawab Rahmat.
Jaksa lantas menanyakan, apakah besaran nilai dana komando itu berlaku di setiap proyek atau setiap tahun. Namun, Rahmat tidak mengetahui lebih lanjut.
Setelah itu, jaksa mengonfirmasi penggunaan dana komando tersebut dibagi-bagikan untuk tunjangan hari raya (THR) para pejabat dan pegawai di Basarnas.
"Jadi THR itu asalnya dari dana komando?" tanya jaksa.
"Setahu saya iya," tutur Rahmat.
Selain untuk THR, dana komando itu juga digunakan sebagai uang sumbangan program Dharma Wanita Persatuan (DWP) di lingkungan Basarnas hingga voucher makan di kantin.
Menurut Rahmat, penggunaan dana untuk THR, sumbangan dharma wanita, dan voucher makan tidak masuk dalam Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Basarnas.
"Ada DWP buat kegiatan dharma wanita, kegiatan dharma wanita sumbangan itu, Pak," jelas Rahmat.
Dalam perkara ini, Basarnas membeli sekitar 30 truk angkut personel 4 WD dengan pembiayaan Rp 42.558.895.000.
Padahal, dana yang sebenarnya digunakan untuk pembiayaan itu hanya Rp 32.503.515.000. Artinya, terdapat selisih pembayaran sebesar Rp 10.055.380.000.
Sementara itu, pembayaran 75 rescue carrier vehicle sebesar Rp 43.549.312.500 dari nilai pembiayaan sebenarnya Rp 33.160.112.500. Artinya terdapat selisih Rp 10.389.200.000.
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) kemudian memasukkan selisih itu sebagai kerugian negara dalam Laporan Hasil Perhitungan Investigatif.
Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendakwa Max memperkaya diri sendiri Rp 2,5 miliar, memperkaya Direktur CV Delima Mandiri sekaligus penerima manfaat PT Trikarya Abadi Prima, William Widarta selaku pemenang lelang dalam proyek ini sebesar Rp 17.944.580.000.
Perbuatan mereka disebut merugikan keuangan atau perekonomian negara sebesar Rp 20.444.580.000.