Saksi Sebut Pengadaan Truk Basarnas Arahan dari Atasan, Bukan Usulan Unit di Bawah
JAKARTA, KOMPAS.com - Proyek pengadaan truk angkut personel 4 WD dan rescue carrier vehicle disebut bukan berangkat dari kebutuhan yang diusulkan unit-unit tingkat bawah kepada pimpinan (down to top), melainkan dari atas ke bawah (top to down).
Hal ini diungkapkan Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ketika membacakan berita acara pemeriksaan (BAP) Staf Perencanaan pada Sub Direktorat Perencanaan dan Rencana Strategis (Renstra) Badan SAR Nasional (Basarnas) Mahmud Fandi.
Ia dihadirkan sebagai saksi dugaan korupsi pengadaan truk angkut personel 4 WD dan rescue carrier vehicle yang menjerat mantan Sekretaris Utama (Sestama) Basarnas, Max Rula yang Boseke.
Mulanya, jaksa KPK mencecar Mahmud terkait asal usul pengusulan pengadaan kendaraan di Basarnas itu.
"Pengusulan proyek ini ya, pengadaan rescue vehicle dan 4 WD ini itu rencananya dari mana? Apakah dari bawah? Dari tiap-tiap pos SAR di daerah atau dari pimpinan yang membuat itu?" tanya jaksa KPK di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (5/12/2024).
Namun, Mahmud mengaku lupa. Ia meminta jaksa membantunya mengingat jawaban pertanyaan itu sebagaimana telah disampaikan dalam proses penyidikan.
Jaksa kemudian membacakan BAP Mahmud nomor 24 yang menyebut, usulan perencanaan anggaran di Basarnas dari tahun ke tahun berangkat dari arahan atasan kepada bawahan.
Padahal, semestinya perencanaan pengadaan itu berangkat dari kebutuhan unit-unit Basarnas.
"Kondisi tersebut terjadi dari tahun ke tahun, yaitu setiap usul perencanaan anggaran ada arahan dari top to down, yang seharusnya usulan tersebut berasal dari kebutuhan setiap unit kerja, down to top," ujar jaksa KPK.
Keterangan ini kemudian dibenarkan oleh Mahmud.
"Berarti ini top to down? Menurut keterangan saudara ya?" tanya jaksa KPK memastikan.
"Kurang lebih seperti itu, iya," jawab Mahmud.
Dalam perkara ini, Basarnas membeli sekitar 30 truk angkut personel 4 WD dengan pembiayaan Rp 42.558.895.000.
Padahal, dana yang sebenarnya digunakan untuk pembiayaan itu hanya Rp 32.503.515.000. Artinya, terdapat selisih pembayaran sebesar Rp 10.055.380.000.
Sementara itu, pembayaran 75 rescue carrier vehicle sebesar Rp 43.549.312.500 dari nilai pembiayaan sebenarnya Rp 33.160.112.500. Artinya terdapat selisih Rp 10.389.200000
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) kemudian memasukkan selisih itu sebagai kerugian negara dalam Laporan Hasil Perhitungan Investigatif.
Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendakwa Max memperkaya diri sendiri Rp 2,5 miliar, memperkaya Direktur CV Delima Mandiri sekaligus penerima manfaat PT Trikarya Abadi Prima, William Widarta selaku pemenang lelang dalam proyek ini sebesar Rp 17.944.580.000
Perbuatan mereka disebut merugikan keuangan atau perekonomian negara sebesar Rp 20.444.580.000