Saksi Sebut THR dari Dana Komando di Basarnas Terus Mengalir sampai Diusut KPK

Saksi Sebut THR dari Dana Komando di Basarnas Terus Mengalir sampai Diusut KPK

JAKARTA, KOMPAS.com - Tunjangan hari raya (THR) di luar pagu anggaran Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas) disebut terus berlangsung hingga akhirnya diusut oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Informasi ini diungkapkan oleh mantan staf Biro Keuangan dan Perencanaan Basarnas, Rahmat Istiawan.

Ia dihadirkan sebagai saksi dalam dugaan korupsi pengadaan truk angkut personel 4 WD dan rescue carrier vehicle (RCV) tahun anggaran 2014.

Dalam persidangan itu, pengacara mantan Sekretaris Utama (Sestama) Basarnas, Max Ruland Boseke, yang menjadi terdakwa dalam perkara ini, menanyakan berapa lama THR di luar gaji resmi itu diberikan kepada para pejabat dan pegawai Basarnas.

“Selama saya di sana, saya masuk 2011, itu nerima sampai saya seingat saya sampai kapan itu, Pak, sampai ada masalah ini kalau enggak salah,” kata Rahmat, di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Senin (13/1/2025).

Adapun THR di Basarnas menjadi salah satu materi perkara yang digali oleh jaksa penuntut umum.

Sebab, dana THR itu bersumber dari dana komando.

Dalam persidangan disebutkan, dana komando merupakan setoran dari perusahaan yang memenangkan tender proyek pengadaan barang dan jasa di Basarnas.

Menurut Rahmat, menjelang ia mengajukan resign pada 2023, THR dari dana komando itu masih diberikan di Basarnas.

Adapun KPK mengumumkan kasus ini naik ke tahap penyidikan dan menetapkan tersangka pada Agustus 2023.

“Sepanjang saksi bekerja di Basarnas, masih ada dana komando?” tanya pengacara.

“Masih ada,” jawab Rahmat.

Dalam perkara ini, Basarnas membeli sekitar 30 truk angkut personel 4 WD dengan pembiayaan Rp 42.558.895.000.

Padahal, dana yang sebenarnya digunakan untuk pembiayaan itu hanya Rp 32.503.515.000.

Artinya, terdapat selisih pembayaran sebesar Rp 10.055.380.000.

Sementara itu, pembayaran 75 rescue carrier vehicle sebesar Rp 43.549.312.500 dari nilai pembiayaan sebenarnya Rp 33.160.112.500.

Artinya, terdapat selisih Rp 10.389.200.000.

Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) kemudian memasukkan selisih itu sebagai kerugian negara dalam Laporan Hasil Perhitungan Investigatif.

Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendakwa Max memperkaya diri sendiri Rp 2,5 miliar, memperkaya Direktur CV Delima Mandiri sekaligus penerima manfaat PT Trikarya Abadi Prima, William Widarta, selaku pemenang lelang dalam proyek ini sebesar Rp 17.944.580.000.

Perbuatan mereka disebut merugikan keuangan atau perekonomian negara sebesar Rp 20.444.580.000.

Sumber