Sang Presiden, Mengaumlah!
DUA peristiwa penting dan menarik terjadi bersamaan mengawali pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Alam semesta seperti sudah merancangnya dengan maksud tertentu.
Pertama, Presiden Prabowo mengajak anggota Kabinet Merah Putih, mulai dari menteri, wakil menteri, kepala badan hingga staf khusus dan utusan khusus menjalani retreat di Akademi Militer (Akmil), Magelang, selama tiga hari.
Baru kali ini para anggota kabinet harus berbaju loreng, baris-berbaris, tidur dan makan bersama ala prajurit di gelanggang pendidikan calon perwira. Presiden menyebutnya “the military way”, bukan militeristik.
Dalam momen tersebut, Presiden mendapatkan kesempatan memberikan pengarahan. Ada beberapa pokok penekanan, yang hakikatnya menebali pidatonya saat pelantikan sebagai presiden.
Sang presiden menghendaki kesetiaan diberikan kepada bangsa dan negara, bukan kepada dirinya. Presiden Prabowo juga menekankan agar jajarannya tidak mau didikte oleh kepentingan asing.
Presiden juga mengingatkan bahwa pemimpin harus memiliki integritas. Ia membuat analogi “ikan busuk dari kepala”.
Presiden mewanti-wanti para pembantunya untuk tidak melakukan korupsi. Menjaga soliditas, persatuan, dan bekerja hanya untuk rakyat, bangsa dan negara (Kompas.com, 28/10/2024).
Di Akmil itu pula Prabowo meminta anggota kabinetnya menggunakan mobil Maung buatan PT Pindad sebagai kendaraan dinas. Maung produksi Pindad itu pula yang dipakai Presiden Prabowo menuju Istana Negara dari Gedung MPR/DPR selepas pelantikan.
Presiden juga menggunakan Maung saat ke Magelang dari Yogyakarta. Kepulangannya pun mengendarai Maung.
Presiden rupanya hendak memperlihatkan sikap nasionalistik. Hendak menunjukkan itikad baik dan keseriusannya untuk membawa negeri ini menuju kemakmuran dan keadilan sosial yang diidam-idamkan rakyat melalui proklamasi kemerdekaan.
Yang menarik dan menjadi renungan, bersama anggota kabinet retreat di Magelang, Kejaksaan Agung menangkap mantan pejabat Mahkamah Agung, Zarof Ricar.
Ia ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara dugaan permufakatan jahat berupa suap dan gratifikasi untuk mengurus kasus terdakwa Ronald Tannur.
KOMPAS.com / VITORIO MANTALEAN Kejaksaan Agung menangkap ZR, eks pejabat tinggi Mahkamah Agung (MA), yang diduga menjadi perantara atau makelar kasasi kasus Ronald Tannur. Penyidik menyita barang bukti uang tunai 74.494.427 dolar Singapura, 1.897.362 dolar Amerika Serikat, 71.200 Euro, 483.320 dolar Hong Kong, dan Rp 5.725.075.000. Penyidik juga menyita barang bukti emas Antam 51 kilogram.Penangkapan Zarof Ricar bukan peristiwa biasa. Sungguh mencengangkan publik. Di kediaman Zarof, penyidik menemukan uang tunai dalam beberapa pecahan mata uang dan emas seberat 51 kilogram yang nilainya mencapai Rp 996 miliar atau hampir Rp 1 triliun.
Susah membayangkan uang dan emas sebanyak itu disimpan di dalam rumah pribadi.
Zarof Ricar, mantan Kepala Badan Diklat Hukum dan Peradilan MA, menambah panjang deret hitung para petinggi negeri yang terjerat korupsi. Juga menambah bobot faktual korupsi di negeri ini, bahwa korupsi nyata-nyata telah mendarah daging hingga pucuk pimpinan lembaga pemerintahan. Tak terkecuali lembaga penegak hukum.
Dua peristiwa besar itu seperti telah diskenario oleh kosmos. Pesannya jelas buat pemerintahan baru yang dipimpin Presiden Prabowo.
Harus diakui, Prabowo memiliki energi besar. Jalan yang dilaluinya untuk sampai pada jabatan presiden relatif panjang, terjal, berliku. Namun, Prabowo sampai juga.
Pertanyaannya, apakah energi besar Prabowo hanya bisa mengantarkannya sampai jabatan presiden, ataukah akan berdaya besar pula untuk menjawab tantangannya yang juga besar?
Saya membaca buku karya Prabowo Subianto berjudul Kepemimpinan Militer Catatan dari Pengalaman (2022). Buku terdiri atas dua jilid. Buku 1 setebal 270 halaman, buku 2 setebal 408 halaman. Keduanya hard cover.
Dari buku dua jilid itu terlihat Prabowo sangat menghayati dan mengambil pelajaran (makna) penting dunia ketentaraan yang membesarkannya. Ia mengagumi kepemimpinan Jenderal Soedirman, I Gusti Ngurah Rai, Robert Wolter Mongisidi, Yos Sudarso.
Prabowo juga menghormati dan mengambil pelajaran penting dari para komandan, bahkan para bintara pelatih. Ia juga mempelajari kepemimpinan Barat dan Timur.
Saya kutip kalimat yang dipilih sebagai “quote” pada sampul dalam buku, “Saya percaya tidak ada perubahan besar yang terjadi tanpa didorong oleh perjuangan yang gigih, perjuangan yang besar. Seringkali perjuangan ini wujudnya adalah perjuangan militer.”
Tak aneh Presiden Prabowo membawa anggota Kabinet Merah Putih ke Akmil untuk retreat. Energi besarnya dibentuk melalui tempaan ketentaraan. Barangkali energi besar ini pula yang hendak ditularkan.
Energi besar Prabowo tak terbantahkan. Jejaknya membenarkan perkataannya. Perjuangan besar Prabowo menuai perubahan besar untuk dirinya.
Dari seorang perwira bintang tiga yang diberhentikan (karena dinilai melakukan tindakan ketidakpatuhan dan perampasan kemerdekaan orang lain) pada 1998 menjadi politikus ulung. Prabowo memimpin partai yang relatif besar.
Pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2009, Prabowo dipilih Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Megawati Soekarnoputri sebagai calon wakil presiden mendampingi dirinya sebagai calon presiden.
Dari calon presiden yang kalah dua kali berturut-turut pada Pilpres 2014 dan 2019 menjadi presiden terpilih pada Pilpres 2024. Hanya orang berenergi besar dengan kegigihan dan perjuangan besar yang bisa menjalani.
Sejarah terbukti menyayangi Prabowo. Ia tidak tenggelam oleh arus deras runtuhnya Orde Baru pascapemberhentiannya dari dinas militer. Padahal, ia bagian dari Keluarga Cendana (Soeharto). Arus deras reformasi 1998 telah memaksa mundur Soeharto dari singgasana kekuasaan.
Prabowo tak tenggelam, tentu saja berkat energi besar dengan perjuangan besarnya. Sejarah malah membuatkan panggung besar buat obsesi dan mimpinya yang disebut “perubahan besar untuk Indonesia”.
Obsesi dan mimpi Prabowo sering dipidatokan dalam berbagai kesempatan. Ditulis pula pada buku Paradoks Indonesia dan Solusinya (2022), dan menjadi inti pidatonya saat pelantikannya sebagai presiden.
Perjuangan besar itu kini bukan lagi berwujud perjuangan militer. Perjuangan besar itu telah beralih menjadi perjuangan politik. Di panggung besar politik, energi besar Prabowo kembali ditantang, diuji. Bisakah energi besar itu membuahkan perubahan besar untuk Indonesia?
Penangkapan Zarof Ricar yang disertai penemuan uang tunai dan emas di rumahnya senilai hampir Rp 1 triliun hanyalah puncak gunung es persoalan akut Indonesia yang menantang pemerintahan baru.
Keberadaan harta hampir Rp 1 triliun itu tak berdiri sendiri, bukan tiba-tiba. Jejaknya menyejarah, membentuk sistem yang mengkultur.
Negara pun tertawan oleh korupsi (state-hijacked corruption). Siapa pun bisa terjerat, tak berdaya menghadapi sistem korup dan kultur beracun, yang menggerogoti kemampuan pemerintahan untuk mengabdi pada kepentingan rakyat, bangsa dan negara.
Presiden Prabowo tampak menyadari betul siapa musuh sesungguhnya dari pemerintahan yang dipimpinnya.
Prabowo menyebut korupsi (tentu saja bukan korupsi recehan), kebocoran anggaran, pengusaha nakal yang suka mengemplang pajak dan membawa kekayaan Indonesia ke luar negeri, serta segenap tindakan jahat lain yang mengakibatkan paradok Indonesia. Negeri kaya raya, tapi sebagian besar rakyatnya miskin.
Namun, masalahnya, musuh yang disebut-sebut Presiden itu tumbuh dan dibesarkan oleh sejarah ekonomi-politik negeri ini. Prabowo sangat sadar bahwa musuh sesungguhnya tak lain adalah anak keturunan laissez-faire yang benihnya sudah tertanam sejak zaman kolonial.
Prabowo mengkritik tajam praktik laissez-faire. Saya menemukan artikel pendek Prabowo enam belas tahun lalu berjudul “Indonesia Mau ke Mana?” (Kompas, 11 Juli 2008).
Di artikel tersebut Prabowo mengecam laissez-faire yang hanya menciptakan banyak orang miskin, sedikit orang kaya.
Di negara dengan sistem kapitalisme, kata Prabowo, orang kaya memang tumbuh, tetapi orang miskin tumbuh jauh lebih cepat. Indonesia termasuk di dalamnya.
Meski hanya artikel pendek, saya kira, penulisnya dengan penuh kesadaran mengemukakan kritik dan gagasannya. Prabowo menyadari masalahnya, sekaligus tindakan yang harus dilakukan (seandainya dirinya) presiden.
Bukan kebetulan beberapa tahun sebelumnya Prabowo mengikuti konvensi presiden di Partai Golkar, tapi kalah. Setahun kemudian ia mendampingi Megawati berlaga pada Pilpres 2009. Pada tiga pilpres berikutnya (2014, 2019, 2024), ia maju sebagai calon presiden.
Artinya, saat menyampaikan pikirannya pada artikel pendek itu, Prabowo sekaligus membayangkan sebagai eksekutor. Dan, benar, Prabowo kini ditantang mengeksekusi pikirannya.
Secara retoris, Prabowo sering mengklaim hendak memperjuangkan ekonomi berkeadilan, ekonomi yang berazaskan Pancasila. Bukan kapitalisme neoliberal, yang membuahkan paradok Indonesia.
Di buku Paradoks Indonesia dan Solusinya, Prabowo menyebut “ekonomi konstitusi”, mengacu UUD 1945 pasal 33 (asli). Bukan mazhab pasar bebas, tapi berazaskan kekeluargaan.
Cabang-cabang produksi penting yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai negara. Kekayaan alam dikuasai negara untuk kemakmuran rakyat. “Jangan full kapitalis, jangan full sosialis,” kata Prabowo.
Namun, masalahnya, laissez-faire yang tertanam di bumi Indonesia sejak zaman kolonial telah beranak pinak dan menggurita. Anak keturunan laissez-faire itulah yang membuat negeri kaya raya, tapi sebagian besar rakyatnya miskin.
Presiden Soekarno pernah melawannya melalui kebijakan ekonomi nasionalistik, tapi terpental. Indonesia lepas dari mulut harimau (kolonial), masuk mulut buaya (Orde Baru).
Lepas dari mulut buaya, masuk mulut singa (reformasi). Anak keturunan laissez-faire mencengkeram dan terus-menerus mengeruk kekayaan negeri bukan untuk kemakmuran rakyat dan keadilan sosial. Meski pemerintahan berganti-ganti.
Melawan anak keturunan laissez-faire demi kemakmuran rakyat dan keadilan sosial tentu saja merupakan perjuangan besar yang harus dimenangkan. Namun, tak mungkin dipimpin oleh pemimpin biasa-biasa saja, pemimpin kelas kambing.
Harus dipimpin presiden yang tidak takut memaknai jabatannya sebagai perjuangan kepahlawanan, pemimpin kelas harimau.
Seperti kepemimpinan Jenderal Soedirman, I Gusti Ngurah Rai, Robert Wolter Mongisidi, dan Yos Sudarso, yang dikagumi Prabowo. Tak ada perubahan besar tanpa perjuangan besar, demikian Prabowo mendalilkan.
Bagi rakyat, bukan lama-tidaknya presiden menjabat untuk dikenang keharuman namanya, melainkan signifikansi perjuangannya untuk membela kepentingan rakyat, bangsa dan negara. Wahai sang presiden, mengaumlah…!