Santri Ditusuk di Yogyakarta, PBNU Minta Regulasi Miras Diperketat
JAKARTA, KOMPAS.com - Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) meminta agar regulasi terkait minuman keras (miras) di Yogyakarta diperketat.
Hal ini imbas penusukan dua santri Pondok Pesantren Al Munawwir Krapyak di daerah tersebut pada akhir Oktober lalu.
Ketua PBNU, Ulil Abshar Abdalla, menyampaikan rasa sedih dan duka atas kejadian tersebut.
"Kita berharap regulasinya (miras) diperketat dan berdasarkan pantauan kita di Yogyakarta memang ada perkembangan baru di sana di mana peredaran ini makin meluas," ujar dia di kantor PBNU, Jakarta, Jumat (1/11/2024).
"Kita sedih, kita prihatin, karena dampak-dampak sosialnya sangat berbahaya," lanjut Ulil.
PBNU juga mendesak agar pihak berwenang dalam hal ini aparat penegak hukum segera menangkap dan menindak para pelaku.
Namun, kata dia, hal yang lebih penting lagi sebetulnya bukan kasus itu sendiri.
"Tetapi juga kasus yang lebih luas, masalah miras, masalah kekerasan, sekarang ini di mana-mana marak. Kita ingin masalah ini diatasi secepatnya," sebut Ulil.
"Ini terjadi maupun tidak terjadi kepada warga NU tetap jadi isu yang krusial," tegasnya.
Sementara itu, polisi telah menangkap tujuh orang yang diduga menganiaya dan menusuk dua orang santri di Jalan Parangtritis, Kota Yogyakarta.
Kapolresta Yogyakarta Kombes Aditya Surya Dharma mengatakan, kronologis penganiayaan dan penusukan ini ternyata berkaitan dengan 3 peristiwa keributan.
Peristiwa pertama terjadi pada Selasa 22 Oktober 2024 pukul 20.00 WIB. Saat itu saksi berinisial B datang ke cafe di sekitar Jalan Parangtritis, Kota Yogyakarta.
Selanjutnya pada pukul 01.30 (Rabu dini hari 23/10/2024) E datang bersama 15 rekannya hendak masuk ke cafe namun tidak jadi dan menuju gerai minuman keras.
"Karena B dan E saling kenal, B bersama tamunya menyusul ke gerai minuman keras. Selanjutnya terjadi cekcok, sehingga B mengalami penganiayaan," kata Aditya, Selasa (29/10/2024).
Lanjut Aditya, pelapor lalu menarik B masuk ke cafe, namun E dan kawan-kawannya masuk ke cafe dan melakukan perusakan dengan parang serta tangan kosong.
"Atas kejadian tersebut korban mengalami kerugian dan melaporkannya ke Polresta Yogyakarta guna penanganan lebih lanjut," kata dia.
Lanjut Aditya pada Rabu pukul 02.30 melihat B dikeroyok, korban hendak melerai namun justru dikeroyok.
"Korban mengalami luka lebam pada tangan kanan dan kiri, kaki kiri serta tengkuk terasa sakit," kata dia.
Aditya melanjutkan, pada Rabu (23/10/2024) malam di Pondok Pesantren Al Munawwir sekira pukul 21.00 WIB ada kegiatan mengaji.
Namun, dua santri dari Al Munawwir tidak ada kegiatan mengaji dan kedua santri tersebut makan sate di sekitar TKP penganiayaan.
"Sekitar Pukul 21.20 WIB, ketika kedua korban sudah selesai makan sate di TKP tersebut tiba-tiba ada suara seperti gelas atau botol pecah di jalan, selanjutnya korban dikeroyok oleh segerombolan orang," kata dia.
Dua santri itu dikeroyok dengan menggunakan benda tumpul berupa balok kayu, helm, dipukul tangan kosong, serta menendang kedua santri.
"Mengatakan (pelaku pengroyokan) ‘ini orangnya ini orangnya’, dan ada yang bilang "bunuh-bunuh". Korban tidak mengetahui kenapa para pelaku melakukan aksinya, sehingga mengakibatkan korban mengalami luka memar dibagian kepala dan patah tulang ibu jari bagian kanan untuk korban," kata dia.
"Korban juga ditusuk dengan senjata," imbuhnya.
Senjata tajam diduga sejenis pisau mengenai perut bagian kiri korban atas nama Shafiq Faskhan.
"Kemudian korban lainnya (santri) dapat menyelamatkan diri dan dibantu diantar ke Pondok Pesantren Al Munawwir oleh masyarakat yang ada di TKP kemudian diantar ke UGD RS Pratama," kata dia.
Atas kejadian tersebut Polisi mengamankan 7 orang yang diduga tersangka. Tujuh orang itu berinisial VL, NH alias E, F, J, Y, T, dan R alias C.
"Terhadap para Tersangka disangkakan melanggar Pasal 170 KUHP dan/atau 351 KUHP barangsiapa dengan terang-terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun 6 bulan," pungkas Aditya.