SBN Indonesia Masih Digandrungi Investor Asing, Catat Pembelian Terpanjang sejak 2017
Bisnis.com, JAKARTA — Investor asing semakin banyak berinvestasi pada obligasi negara Indonesia seiring dengan sinyal presiden baru yang menerapkan disiplin fiskal dan minat mereka terhadap alternatif pasar negara berkembang, mengingat volatilitas yang terkait dengan pemilu AS.
Mengutip Bloomberg pada Kamis (31/10/2024), Surat berharga negara (SBN) Indonesia kembali mencatatkan net inflow pada Oktober 2024, atau selama enam bulan berturut-turut, sekaligus menjadi pembelian terpanjang sejak 2017, menurut data yang dikumpulkan oleh Bloomberg.
Inflasi yang terkendali di Indonesia dan penurunan suku bunga yang mengejutkan oleh bank sentral pada bulan September untuk memacu pertumbuhan juga membantu mempertahankan permintaan.
Penurunan harga obligasi Indonesia pada Oktober 2024 setelah mengalami kenaikan selama lima bulan berturut-turut—seiring dengan perkembangan Treasury AS dan aksi jual obligasi di seluruh dunia—tidak banyak menghentikan aksi beli investor asing.
Indeks obligasi utama Indonesia telah menghasilkan keuntungan sekitar 5% sejak penurunan tajam tersebut dimulai pada awal Mei 2024, mengungguli sebagian besar obligasi di Asia Tenggara.
Arus dana masuk tersebut menunjukkan bahwa imbal hasil yang tinggi di pasar negara berkembang Asia yang lebih stabil tetap menjadi daya tarik bagi investor yang bersiap menghadapi ketidakpastian jalur suku bunga Federal Reserve dalam perekonomian AS yang kuat dan prospek perang dagang setelah pemilu tanggal 5 November 2024.
"Imbal hasil riil tetap menarik, menambah daya tarik imbal hasil nominal yang tinggi dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan. Selain itu, stabilitas dan kesinambungan politik yang ditunjukkan Indonesia membedakannya dari negara-negara lain yang memiliki imbal hasil tinggi," ujar Philip McNicholas, Asia Sovereign Strategist Robeco Group di Singapura.
Manuver pemerintahan baru tetap menjadi variabel penting bagi investor Indonesia. Keputusan Presiden Prabowo Subianto untuk mempertahankan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati di kabinet barunya secara luas dipandang sebagai sinyal kesinambungan kebijakan dan pendekatan fiskal yang konservatif.
Pemerintah juga telah mengumumkan target defisit yang berada di bawah batas yang ditetapkan, sehingga membantu meredakan kekhawatiran yang muncul setelah Prabowo menggembar-gemborkan beberapa rencana belanjanya pada awal tahun ini.
Head of Economics and Strategy di Mizuho Bank Ltd. Vishnu Varathan menilai bahwa kesinambungan reformasi dan penyangga relatif pemilu AS adalah sentimen yang mungkin akan membuat para investor tertarik untuk ikut serta, terutama karena risiko fiskal AS—yang dirasakan atau tidak—membatasi optimisme yang tak terkendali untuk membeli barang-barang AS.
"Indrawati trade juga merupakan hal yang positif secara fiskal dengan margin yang mendukung, dan semuanya setara," ujar Varathan, yang merujuk kepada nama Menkeu Sri Mulyani Indrawati.
Namun, demikian muncul tanda-tanda bahwa semangat investor mungkin tidak dapat dipertahankan, terutama karena dolar dan imbal hasil obligasi AS atau US Treasury meningkat.
Permintaan obligasi rupiah pada lelang perdana pada hari Selasa turun ke level terendah dalam setahun, mendorong imbal hasil obligasi 10 tahun ke level tertinggi sejak 1 Agustus 2024. Investor asing memangkas kepemilikan mereka sebesar US$85 juta pada minggu lalu, yang merupakan net outflow mingguan pertama sejak Juli 2024, menurut data yang dihimpun Bloomberg.
Emerging Markets Strategist di Natwest Markets India, Aditya Sharma, menuturkan bahwa perubahan ekspektasi terhadap laju penurunan suku bunga The Fed dan penguatan dolar AS kemungkinan besar menjadi penyebab penurunan obligasi pemerintah Indonesia pada Oktober 2024.
Dia mengatakan, tekanan pada pasar obligasi juga mungkin timbul karena Bank Indonesia mungkin menunda pemotongan lebih lanjut untuk mendukung rupiah jika kinerja mata uang tersebut buruk.
Namun demikian, posisi asing pada obligasi pemerintah Indonesia masih rendah dibandingkan dengan rata-rata historis, dan premi yang ditawarkan pada obligasi pemerintah AS dapat meningkat dan menjadikan obligasi tersebut lebih menarik. Sehingga, dia menilai masih ada ruang untuk memperbaiki posisi.