Seberapa Jauh Donald Trump Bisa Melangkah secara Politik?
“(KEMENANGAN) ini akan dikenang selamanya sebagai hari saat rakyat Amerika mendapatkan kembali kendali atas negara mereka,” kata Presiden terpilih Amerika Serikat (AS), Donald Trump, dalam pidato kemenangannya pada Rabu (6/11/2024). Trump berjanji untuk memperbaiki atau membalikkan arah kebijakan yang menurutnya telah menyimpang dari kehendak rakyat.
Berdasarkan hasil pemilu pada 5 November ini, AS secara signifikan berayun ke kanan, ke nilai-nilai yang dianut kaum konservatif. Partai Republik, yang sejalan dengan gerakan Make America Great Again (MAGA) yang digelorakan Trump, kini menguasai mayoritas kursi di Senat dan kemungkinan juga akan mempertahankan kendali di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Hal itu menandakan, gerakan politik Trump dan Partai Republik memiliki pengaruh yang besar dan akan memegang kekuasaan legislatif di kedua lembaga itu.
Gerakan MAGA Trump telah berhasil mencapai tujuannya untuk "merebut kembali kendali politik", dan sekarang Partai Republik berencana untuk menggunakan kekuasaan itu buat mengubah arah kebijakan AS sesuai visi mereka.
Menurut Stormy-Annika Mildner, direktur Aspen Institute Germany, sebuah lembaga think tank independen, perbedaan besar dari Trump saat ini dengan pada pemilu tahun 2016 adalah bahwa kali ini dia jauh lebih siap.
Saat Trump pertama kali berkuasa tahun 2016, dia merupakan orang luar di dunia politik. Trump tidak punya banyak pengalaman politik formal. Karena itu, saat itu Trump dikelilingi para penasihat dan staf politik berpengalaman untuk membimbingnya dalam menjalankan roda pemerintahan dan membatasi tindakannya agar sesuai dengan norma dan prosedur politik yang ada.
Kini, Trump tampaknya tidak terlalu tertarik mengikuti aturan-aturan yang biasa berlaku dalam dunia politik. Trump tampaknya akan cenderung bertindak dengan caranya sendiri, tanpa begitu memedulikan atau merasa terikat pada tradisi atau standar politik yang telah mapan.
“Trump telah belajar bahwa akan menjadi masalah jika ada orang-orang yang bukan loyalis berada di dalam timnya,” kata Mildner kepada DW. Mildner menambahkan, Trump diperkirakan hanya berurusan dengan para pendukung sejatinya saja.
"Melalui penggantian besar-besaran pegawai di kementerian dan otoritas di bawahnya, satu faktor penting yang ada dari 2016 hingga 2020 akan hilang banyak orang yang di masa itu mencegah terjadinya hal-hal yang lebih buruk," ujar Mildner.
Mildner memperkirakan, Project 2025, dokumen strategi yang menjadi perhatian publik pada musim panas lalu, akan berpengaruh pada agenda baru AS.
Walau Trump secara resmi menjauhkan diri dari manifesto yang disusun The Heritage Foundation, lembaga think tank yang sangat konservatif, laporan media menyebutkan bahwa sejumlah pengikut Trump terlibat dalam penyusunan dokumen itu. Mildner mengatakan, orang-orang itu berpotensi menempati posisi berpengaruh dalam pemerintahan Trump.
Trump juga mengadopsi tuntutan utama dari dokumen tersebut selama kampanyenya, dengan mengajukan sejumlah proposal mengenai kebijakan migrasi dan perlindungan perbatasan yang sejalan dengan dokumen lembaga think tank tersebut. Trump menjanjikan, misalnya, “operasi deportasi terbesar dalam sejarah Amerika,” selain secara signifikan meningkatkan eksploitasi bahan bakar fosil yang merusak iklim dan menghapuskan sejumlah peraturan terkait lingkungan hidup.
Otoritas federal seperti Environmental Protection Agency (EPA) akan menjadi pendorong utama untuk mewujudkan rencana tersebut. Dalam dokumen Project 2025, terdapat bab sepanjang 32 halaman tentang EPA yang ditulis Mandy Gunasekara. Gunasekara sebelumnya menjabat kepala staf EPA pada periode kepresidenan pertama Trump. Sekarang, Gunasekara disebut-sebut sebagai calon pemimpin berikutnya untuk EPA.
Selama pemerintahan Trump yang pertama, kewenangan EPA dipereteli, dan banyak karyawan diberhentikan. Namun, pemerintahan Joe Biden membatalkan sebagian besar perubahan di era Trump, memulihkan kewenangan EPA, dan mengembalikan banyak kebijakan serta sumber daya yang sebelumnya telah dipangkas.
Harian The New York Times mengutip Gunasekara yang mengatakan bahwa pada masa jabatan kedua Trump, rencananya adalah "meruntuhkan dan membangun kembali" struktur badan tersebut.
“Anda dapat menggunakan sejumlah lembaga yang merupakan bagian dari cabang eksekutif, seperti Environmental Protection Agency, untuk mengatur kepentingan publik,” kata Mildner. Namun, lembaga-lembaga tersebut juga bisa dihentikan operasinya dengan menempatkan pemimpin yang kemudian hanya bisa mengatakan, "Kami tidak akan melakukan apa-apa lagi tentang ini," yang pada dasarnya membiarkan mereka tidak menjalankan tugasnya lagi.
Menurut Mildner, meskipun hal terakhir itu diperkirakan akan terjadi dalam bidang perlindungan iklim, Trump diperkirakan akan memberlakukan peraturan yang berdampak luas di bidang lain seperti imigrasi dan keamanan perbatasan, atau dalam ekstraksi bahan bakar fosil.
Para pengamat juga dengan cemas menunggu siapa yang akan ditunjuk Trump untuk memimpin Departemen Kehakiman AS. Trump telah menyatakan niatnya untuk menggunakan departemen itu buat menuntut secara hukum lawan-lawan politik.
Stasiun penyiaran publik NPR melaporkan bahwa selama kampanye pemilu, Trump telah melontarkan lebih dari 100 ancaman serupa. Hal itu menunjukkan bahwa Trump berencana menggunakan jabatan tersebut untuk tujuan politis, yang menambah ketegangan dan perhatian publik terhadap calon pemimpinnya di departemen itu.
Selain politisasi kantor kejaksaan, Trump juga akan kembali memiliki kekuasaan untuk menunjuk kaum konservatif di kantor-kantor pengadilan tinggi. Partai Republik sekarang memegang mayoritas di Senat. Senat yang harus menyetujui penunjukan semacam itu. Selama masa jabatan Trump yang pertama, sebanyak 234 hakim ditunjuk, termasuk tiga hakim di Mahkamah Agung (MA). Setelah kembali menjabat, Trump memiliki kesempatan besar untuk memengaruhi sistem peradilan dengan menunjuk hakim-hakim yang sesuai dengan ideologi politik dia.
“Trump merombak sistem peradilan federal pada masa jabatan pertamanya,” kata profesor Universitas George Washington, John Collins, kepada kantor berita Reuters. “Sekarang dia mempunyai kesempatan untuk memperkuat visi itu bagi satu generasi."
Karena itu, Partai Republik ingin memanfaatkan kesempatan tersebut untuk melakukan reorganisasi besar-besaran di negara bagian sesuai pedoman yang diberikan oleh konstitusi. Menurut Mildner, konstitusi sendiri kemungkinan besar tidak akan diubah karena amandemen konstitusi itu rumit dan bisa merugikan Partai Republik jika mereka kembali menjadi oposisi di suatu saat nanti.
Meskipun Gedung Putih, Kongres, dan Mahkamah Agung kini didominasi kaum konservatif, Mildner tetap yakin bahwa lembaga-lembaga lain seperti media akan menjalankan peran mereka dalam memberikan checks and balances.
Negara-negara bagian yang diperintah secara demokratis juga bersiap menghadapi pertarungan politik yang sengit melawan agenda Trump. Gubernur New York, Kathy Hochul, berbicara langsung kepada Trump pada hari Rabu. Hochul mengatakan, "Jika Anda (Trump) mencoba merugikan warga New York atau mencabut hak-hak mereka, saya akan melawan Anda di setiap langkah."
Mildner optimis, demokrasi AS masih cukup kuat untuk bertahan dari tantangan-tantangan yang dihadapinya. Dia melihat adanya ketahanan dan kemampuan AS untuk menghadapi krisis.
Namun hal itu tidak berarti perpecahan politik akan teratasi di bawah kepemimpinan Trump. “Empat tahun ini akan berkontribusi pada polarisasi lebih lanjut,” kata Mildner.