Sejarah Kolintang, Kini Diakui sebagai Warisan Budaya Takbenda UNESCO
Kolintang kini resmi diakui sebagai Warisan Budaya Takbenda (WBTb) UNESCO, tepat setelah diakuinya Reog Ponorogo dan Kebaya. Alat musik tradisional dari Minahasa, Sulawesi Utara ini resmi masuk dalam WBTb UNESCO per 5 Desember 2024.
Penetapan kolintang sebagai bagian dari Daftar Representatif Warisan Budaya Takbenda Kemanusiaan (Representative List of the Intangible Cultural Heritage of Humanity) UNESCO ini berlangsung dalam sidang ke-19 the Intergovernmental Committee for the Safeguarding of the Intangible Cultural Heritage di Paraguay pada Kamis (5/12/2024) waktu setempat.
Menteri Kebudayaan Fadli Zon dalam pidatonya secara virtual menyampaikan apresiasi kepada semua pihak yang berkontribusi atas pencapaian ini. Menurutnya, pengakuan ini mencerminkan nilai lintas budaya yang dimiliki Kolintang, yang memiliki kemiripan dengan Balafon, alat musik tradisional dari Mali, Burkina Faso, dan Côte d’Ivoire di Afrika Barat.
"Kolintang bukan sekadar alat musik, melainkan simbol harmoni, persatuan, dan kreativitas masyarakat Indonesia. Pengakuan ini adalah bukti komitmen kita bersama dalam melestarikan kekayaan budaya bangsa," ujarnya.
Kolaborasi Indonesia dengan ketiga negara tersebut menjadi bukti bahwa musik tradisional mampu menjembatani perbedaan geografis dan budaya. Menteri Fadli Zon pun menyampaikan rasa hormat dan bangga kepada seluruh komunitas Kolintang di Indonesia.
Seperti dilansir UNESCO, kolintang di Indonesia merujuk pada seperangkat gambang kayu dengan panjang yang berbeda-beda. Alat musik ini diyakini mewakili rasa saling menghormati dan toleransi serta mempromosikan persatuan dan kehidupan yang damai dan harmonis.
Di Indonesia, kolintang kerap dimainkan dalam upacara-upacara keagamaan dan ritual-ritual, serta diasosiasikan dengan nilai-nilai filosofis, etika, dan estetika yang menjalin hubungan antara orang-orang dengan latar belakang yang berbeda dan dengan alam. Alat musik ini juga dipandang sebagai sarana untuk mengatasi penyakit kesehatan mental dan fisik.
Bagi para pembawa dan pemainnya, kolintang mendorong dialog dan pemahaman, dan keberadaannya merupakan simbol penghormatan terhadap keanekaragaman budaya. Para musisi, pengrajin, peneliti, dan akademisi kolintang memainkan peran penting dalam menyebarkan praktik ini dengan meningkatkan kesadaran akan pentingnya warisan kolintang, memastikan keberlanjutan dan pentingnya instrumen ini, serta menyebarkan pengetahuan dan keterampilan yang berkaitan dengan kolintang secara lebih luas, termasuk kepada kaum muda, perempuan, dan anak-anak perempuan, serta orang-orang yang berada dalam situasi yang rentan dan terpinggirkan. Elemen ini juga disebarkan melalui kegiatan-kegiatan di berbagai sektor, termasuk pendidikan, budaya, penelitian, dan kesehatan. Hal ini mendorong kreativitas sekaligus mendukung keberagaman, inklusi, dan kohesi sosial.
Mengutip dari Repositori Kemdikbud, sejarah kolintang erat hubungannya dengan kepercayaan tradisional rakyat Minahasa, yang diwariskan dalam bentuk karya sastra. Konon, diceritakan tentang seseorang bernama Lintang yang karena sebuah pengalaman hidup kemudian membawa dirinya ke dalam hutan. Dalam kesendirian dia mengungkapkan isi hatinya entah dengan secara sengaja atau tidak sengaja mengetukkan potongan kayu ke potongan kayu lainnya yang mengeluarkan bunyi yang mewakili suara hatinya, sehingga lahirlah sebuah ucapan "oh ko reen si Lintang". Dari sini, muncul pengertian musik kolintang adalah musik yang mewakili suara hati
Pada awalnya, alat musik kolintang hanya beberapa potongan kayu yang diletakkan berjejer. Bentuk ini berubah setelah Pangeran Diponegoro diasingkan di Minahasa. Salah satu orang yang menjadi pelopor kolintang di Sulawesi Utara adalah Nelwan Katuuk. Beliau memelopori kolintang menjadi alat musik melodis-diatonis yang terdiri dari dua oktaf. Sampai saat tulisan ini dibuat kolintang sudah mencapai enam oktaf. Dalam perkembangannya kolintang sudah terdiri dari ansambel kecil yang cukup kompleks yang dibangun dari prinsip SATB (Sopran, Alto, Tenor, Bas).
Lihat juga Video Rendang akan Diusulkan ke UNESCO
[Gambas Video 20detik]