Sejarah Wisma Perdamaian di Kawasan Tugu Muda Semarang
KOMPAS.com - Di Kawasan Tugu Muda Semarang terdapat sebuah bangunan kuno penuh sejarah yang dikenal dengan nama Wisma Perdamaian.
Wisma Perdamaian berlokasi di Jalan Imam Bonjol No.209, Pandrikan Kidul, Kecamatan Semarang Tengah, Kota Semarang atau tepatnya di sebelah barat Tugu Muda.
Bangunan berwarna putih nan megah ini memiliki luas lahan sekitar 15.000 meter persegi dengan total luas bangunan 6.500 meter persegi.
Meski telah berusia lebih dari 250 tahun, bangunan Wisma Perdamaian terlihat masih berdiri tegak dan nampak gagah.
Di balik itu, bangunan kuno ini menyimpan sejarah panjang Kota Semarang sejak masa kolonial.
Bangunan yang kini dikenal sebagai Wisma Perdamaian dibangun pada tahun 1754 dan dirancang oleh Nicolaas Harting.
Nicolaas Harting adalah Gubernur Pantai Utara Jawa (1754-1761) yang ditunjuk VOC dan menjadi sosok di balik terjadinya Perjanjian Giyanti (1755).
Dilansir dari laman Humas Provinsi Jawa Tengah, Guru Besar Arsitektur Universitas Diponegoro (Undip) Semarang Totok Roesmanto menjelaskan sejarah bangunan kuno ini.
Sebagai rumah dinas petinggi VOC yang menjabat sebagai Gouverneur van Java’s Noord-Oostkust (Gubernur Jawa Utara Bagian Pesisir Timur), bangunan ini pertama kali digunakan sebelum 1755 menjelang perjanjian Giyanti.
Bangunan ini juga menjadi bagian dari rancangan pelebaran kota dari wilayah Kota Lama menuju ke arah Karang Asem (sekarang Randusari).
‘‘De Vredestein memiliki kaitan erat dengan sejarah Perang Jawa. Bangunan ini sangat bersejarah mengingat di situlah tempat kedudukan gubernur VOC yang menguasai Pantai Utara Jawa,’’ tuturnya.
Sementara dalam sebuah penelitian berjudul Bangunan Kuno Wisma Perdamaian dalam Sejarah Kota Kawasan Simpang Tugu Muda, Semarang yang dimuat dalam Jurnal TESA Arsitektur, Universitas Katolik Soegijapranata (2022) dijelaskan sejarah gedung kuno ini.
Bangunan ini awalnya adalah kediaman atau rumah pribadi dari gubernur, karena gubernur baru yang akan menempati rumah ini harus membayar 18.000 rijksdaalder kepada gubernur lama.
Semula gedung ini dikenal sebagai Rumah “Zigtrijk” atau juga dikenal sebagaiRumah “Bodjong”.
Humas Provinsi Jawa Tengah Foto lama suasana di Wisma Perdamaian.
Setelah VOC dibubarkan dan asetnya dinasionalisasi oleh Pemerintah Belanda, Rumah ”Bodjong” tetap menjadi tempat tinggal bagi Resident (Residentiehuis).
Adapun nama Vredestein diambil dari nama jalan yang ada di Semarang yangdibangun pada masa Hartingh. Jalan ini yang kelak disebut sebagai Jalan Bodjong.
Seiring berjalannya waktu, nama “Vredestein”, “Zigtrijk”, dan “Bodjong” tidak lagi digunakan untuk menyebut bangunan ini.
Rumah ini setelahnya lebih dikenal sebagai Rumah Residen Semarang, yang dikenal sebagai “Residentehuis” atau “Residentwoning”.
Setelah Proklamasi Indonesia pada 1945, gedung ini sempat menjadi kediaman Gubernur Jawa Tengah kedua, Wongsonegoro selama setahun.
Kemudian pada 1946, gedung ini sempat direbut oleh pasukan RAPWI (Recovery of Allied Prisoners of War and Internees), bagian dari pasukan pasukan sekutu yang datang ke Indonesia pada akhir Perang Dunia II.
Pada 1949, gedung ini menjadi markas Brigade T KNIL. Sementara Gubernur Wongsonegoro tetap tinggal di Wisma Perdamaian sampai 1949 sebagai tahanan Surabaja.
Sebagai salah satu bangunan bersejarah di Kota Semarang terdapat beberapa peristiwa penting yang sempat terjadi di gedung kuno ini.
Dikutip dari Kompas.id (12/04/2019), Sejarawan dari Unika Semarang Tjahjono Rahardjo mengisahkan, Wisma Perdamaian pernah menjadi tempat bersejarah karena pernah menjadi tempat singgah Pangeran Diponegoro sebelum diasingkan ke Manado di tahun 1830.
Sebelumnya, pada tahun 1812 lokasi ini juga menjadi tempat Letnan Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles merancang serangan Inggris ke Keraton Yogyakarta di tahun 1812.
Cagar Budaya Kota Semarang Foto lama suasana Wisma Perdamaian di Semarang.
Sejak 1950, bangunan kuno ini beserta bangunan lain di dalam kavlingnya menjadi aset Provinsi Jawa Tengah.
Dilansir dari laman Humas Provinsi Jawa Tengah, kompleks bangunan tersebut sempat mengalami beberapa kali pergantian fungsi, diantaranya menjadi kampus Akademi Pelayaran Niaga (Akpelni), kampus Akademi Pemerintahan Dalam Negeri (APDN) Semarang.
Selain itu, kompleks bangunan juga pernah difungsikan sebagai Kantor Sosial pada 1980-an dan Kantor Kanwil Pariwisata Jawa Tengah (Jateng) pada 1994.
Kompleks Wisma Perdamaian juga pernahai kediaman resmi Gubernur Jawa Tengah sejak 1994, yakni pada era Gubernur Soewandi (1993-1998).
Penyematan nama "Wisma Perdamaian" sebagai nama gedung kuno ini juga terjadi pada masa tersebut, diambil dari nama "De Vredestein" yang bermakna ‘Istana Perdamaian.’
Walau begitu, setelah era Gubernur Soewandi, para gubernur setelahnya tidak lagi menggunakan Wisma Perdamaian sebagai rumah dinas.
Gubernur Jawa Tengah kembali menggunakan Puri Gedeh di Kecamatan Gajahmungkur menjadi rumah dinasnya.
Hingga kini, Wisma Perdamaian digunakan untuk kegiatan pemerintah provinsi ataupun kegiatan masyarakat yang dimanfaatkan untuk menyelenggarakan kegiatan budaya, seni, ataupun pendidikan.
Walau begitu, Wisma Perdamaian juga sempat menjadi tempat tinggal sementara Penjabat (Pj) Gubernur Jawa Tengah Nana Sudjana sebelum pindah ke rumah dinas di Puri Gedeh.
Komjen Pol (Purn) Nana Sudjana dilantik sebagai Pj Gubernur Jawa Tengah menyusul berakhirnya masa jabatan Ganjar Pranowo yang sudah memimpin Jawa Tengah selama dua periode.
Kompleks Wisma Perdamaian yang menghadap ke arah tenggara terdiri dari tiga bangunan.
Bangunan induk yang difungsikan sebagai ruang kerja gubernur serta tempat penerimaan tamu-tamu resmi, bangunan rumah tinggal (rumah dinas), dan bangunan kantor tempat staff Wisma Perdamaian bekerja.
Bangunan asli Wisma Perdamaian adalah bangunan induk berupa bangunan tunggal dua lantai yang berarsitektur klasik dan dicirikan dengan adanya pilar-pilar rangkap dengan kapitel berornamen dan bermotif bunga.
Dalam perkembangannya, kompleks Wisma Perdamaian mengalami beberapa kali proses renovasi.
Menjelang abad ke-20, ditambahkan serambi bangunan di samping kanan dan kiri, serta atap diubah menjadi limasan penuh.
awal abad ke-20, bangunan samping dibongkar, kemudian ditambahkan tritisan atau luifel gantung dengan rangka besi yang berpenutup seng.
Penambahan bangunan dua lantai juga dilakukan di bagian belakang dari kiri bangunan induk terjadi pada tahun 1970-an yang kemudian digunakan sebagai kampus APDN.
Renovasi terakhir dilakukan pada tahun 1978, dengan mengganti luifel gantung menjadi plat dan konsol beton dengan banyak ornamen ukiran, serta mengganti daun pintu dan jendela dengan bahan baru, termasuk pula membuat tangga layang pada ruang depan.
Dibangunnya bangunan kantor pada sisi sebelah kanan bangunan utama mengadopsi bentuk bangunan induk sebagai bangunan lama yang bergaya kolonial.
Hal ini dilakukan sebagai salah satu langkah pelestarian atau konservasi terhadap kompleks bangunan kuno Wisma Perdamaian.
Sumber journal.unika.ac.id humas.jatengprov.go.id tribunjatengwiki.tribunnews.com tribunnews.com jateng.antaranews.com kompas.id