Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto Tersangka Kasus Apa?
JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan (Sekjen PDIP) Hasto Kristiyanto sebagai tersangka dalam dua kasus terkait eks kader PDIP, Harun Masiku.
Kedua kasus tersebut yakni penyuapan terhadap mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan yang dilakukan bersama Harun Masiku. Serta, perintangan penyidikan yang dilakukan KPK ketika memburu Harun Masiku.
Sejak diusut pada tahun 2019, kasus ini sudah cukup menyita publik. Pasalnya, Harun Masiku yang telah ditetapkan sebagai buronan sejak 2020, hingga kini tak kunjung berhasil ditangkap oleh KPK.
Berikut penjelasan kasus yang menjerat Hasto Kristiyanto
KPK menduga Hasto terlibat dalam penyuapan eks Komisioner KPU, Wahyu Setiawan, agar meloloskan Harun Masiku sebagai anggota DPR RI. Padahal, perolehan suara Harun Masiku yang maju dari Daerah Pemilihan (Dapil) 1 Sumatera Selatan saat itu, kalah jauh dari Riezky Aprilia.
Dari penelusuran KPK, Harun Masiku merupakan warga Sulawesi Selatan (Sulsel), yang ditempatkan untuk maju di Sumsel.
Saat KPU mengumumkan hasil Pemilu 2019, Harun Masiku hanya berhasil mengantongi 5.878 suara, dan menempatkannya di urutan keenam caleg dengan suara terbanyak. Sementara Riezky Aprilia yang meraup 44.402 suara, berhasil berada di urutan kedua.
Keduanya awalnya tidak lolos ke Senayan. Caleg PDIP asal Dapil 1 Sumsel yang semestinya lolos adalah Nazarudin Kiemas. Namun, Nazarudin meninggal dunia sebelum dilantik. Semestinya, Riezky Aprilia lah yang menggantikan Nazarudin.
Hasto pun berakrobat dengan mengajukan judicial review kepada Mahkamah Agung pada tanggal 24 Juni 2019 supaya Harun Masiku bisa melenggang ke DPR.
Tak hanya itu, Hasto juga menerbitkan Surat Bernomor 2576/ex/dpp/viii/2019 tertanggal 5 Agustus 2019 perihal permohonan pelaksanaan judicial review.
Hasto juga meminta Riezky Aprilia untuk mengundurkan diri, bahkan mengirim orang untuk menyusulnya ke Singapura untuk meminta hal yang sama. Namun, Riezky Aprilia kekeh menolak permintaan tersebut.
Hasto kemudian menemui Wahyu Setiawan, pada 31 Agustus untuk melobi dua pergantian antar waktu (PAW) anggota DPR RI. Namun, nama Harun tidak lolos.
Hasto akhirnya melalui bawahannya Saeful Bahri dan Dony Tri Istiqomah menyuap Wahyu dan anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Agustiani Tio Fridelina dengan uang 19.000 dollar Singapura dan 38.2250 dollar Singapura.
Menurut Setyo, sebagian uang suap itu bersumber dari kantong Hasto.
“Agar saudara Harun Masiku dapat ditetapkan sebagai anggota DPR RI periode 2019-2024 dari Dapil 1 Sumsel,” tutur Ketua KPK Setyo Budiyanto.
Selain menyuap, Hasto juga diduga melakukan perbuatan-perbuatan yang menghalangi jalannya penegakan hukum, termasuk membuat Harun Masiku lolos dari operasi tangkap tangan (OTT) pada Januari 2020.
Ketika KPK menggelar OTT pada 8 Januari 2020, Hasto memerintahkan penjaga Rumah Aspirasi, Nurhasan untuk menghubungi Harun Masiku.
“(Memerintahkan) Harun Masiku supaya merendam Hp-nya dalam air dan segera melarikan diri,” kata Setyo.
Perintah yang sama juga Hasto sampaikan pada 6 Juni 2024 lalu, beberapa hari sebelum ia diperiksa KPK sebagai saksi Harun. Ia memerintahkan staf pribadinya, Kusnadi merendam Handphone.
Selain itu, Hasto juga disebut mengumpulkan sejumlah saksi terkait perkara Harun Masiku dan mengarahkan mereka agar tidak memberikan keterangan dengan jujur.
Karena perbuatan itu, KPK juga menetapkan Hasto dan kawan-kawan sebagai tersangka perintangan penyidikan.
“Dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan perkara dugaan tindak pidana korupsi terkait penetapan anggota DPR RI terpilih 2019-2024 yang dilakukan Harun Masiku bersama-sama Saeful Bahri,” ujar Setyo.
Atas perbuatannya, Hasto kini diancam Komisi Antirasuah dengan pasal yang berbeda.
Dalam perkara suap, Hasto disangka dengan Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau Pasal 5 Ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Secara rinci Pasal 5 Ayat (1) huruf a dan b UU Tipikor berbunyi sebagai berikut
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang
a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau
b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
Sementara Pasal 13 UU Tipikor berbunyi sebagai berikut
Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling banyak 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
Sedangkan terkait kasus perintangan penyidikan, Hasto dijerat KPK dengan Pasal 21 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Adapun Pasal 21 UU Tipikor berbunyi
Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Penetapan tersangka Hasto pada saat ini pun menimbulkan pertanyaan. Sebab, meski KPK telah mengusut kasus ini sejak 2019, dugaan keterlibatan Hasto baru diketahui saat ini.
Ketua KPK Setyo Budiyanto menjelaskan bahwa kasus ini sudah ditangani sejak 2019. Namun demikian, baru saat ini muncul kembali karena kecukupan alat bukti yang telah dikumpulkan.
“Jadi, kalau rekan-rekan melihat, kasus ini kan sudah dari 2019 sudah ditangani, tapi, kemudian baru (muncul lagi) sekarang ini, karena kecukupan alat buktinya,” kata Setyo.
Setyo menambahkan, KPK berkomitmen untuk menyelesaikan kasus Harun Masiku. Namun demikian, Harun yang merupakan eks kader PDI-P melarikan diri dan masuk dalam daftar pencarian orang (DPO).
KPK terus melakukan pemeriksaan terhadap saksi-saksi yang dianggap mengetahui kasus ini. Mereka juga melakukan penyitaan barang-barang yang dapat memberikan petunjuk untuk mengungkap kasus tersebut.
“Di situlah kemudian kita mendapatkan banyak bukti dan petunjuk yang kemudian menguatkan keyakinan penyidik untuk melakukan tindakan untuk mengambil keputusan tentu melalui proses, tahapan-tahapan sebagaimana yang sudah diatur di Kedeputian Penindakan,” jelas Setyo.