Sekolah Internasional Kena PPN 12 Persen, Anggota DPR: Harusnya Tidak Sebesar Itu
JAKARTA, KOMPAS.com - Anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi PKS, Ledia Hanifa Amaliah menilai seharusnya kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen tidak diterapkan ke sekolah bertaraf internasional.
Menurutnya, jika memang sekolah internasional ingin dikenakan pajak seharusnya tidak besar. Sebab, sekolah internasional juga bagian dari pendidikan.
“Kalau kita lihat sekolah internasional, memang yang masuk ke sana pasti adalah orang-orang yang mampu namun ketika ditetapkan pajaknya 12 persen, kita keberatan juga ya PPN ini dinaikkan. Karena itu kan kebutuhan untuk pendidikan, maka kalau pun ada pajak yang harus dibayarkan, harusnya tidak sebesar itu,” kata Ledia saat dikonfirmasi, Rabu (18/12/2024).
Menurutnya, di dalam UU Cipta Kerja, sekolah yang masuk katagori komersil itu dibangun di kawasan ekonomi khusus.
“Itu yang secara eksplisit disebutkan. Jadi, memang itu yang nanti harus dilihat detailnya, dicermati, apakah sekolah internasional termasuk dalam kategori tersebut,” kata Sekretaris Fraksi PKS DPR RI ibi.
Oleh karena itu, anggota DPR RI dari Dapil Jawa Barat I ini menilai perlu digali lebih dalam soal kebijakan ini.
“Kalau kemudian sekolah internasional dikenai PPN, kita juga harus lihat bahwa ada sekolah-sekolah yang non-internasional artinya domestik, yang menengah ke bawah justru sebenarnya harus dibantu juga karena mereka berdiri sebelum republik ini berdiri,” ungkapnya.
Ledia meminta jangan sampai PPN 12 persen justru merembet ke hal-hal yang terkait pendidikan.
“Jangan sampai merembet ke semua hal yang berkaitan dengan pendidikan. Itu yang tidak boleh, jadi harus ada pengaturan yang jelas terkait dengan sekolah internasional ini, sekolah swasta, negeri, supaya nanti pengaturannya lebih tepat dan lebih bermanfaat buat semua,” ujar Ledia.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengumumkan, layanan rumah sakit kelas VIP dan jasa pendidikan berstandar internasional akan kena Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen di 2025.
Sri Mulyani menekankan PPN 12 persen akan dikenakan ke barang mewah termasuk jasa yang berbiaya mahal.
“Tentu sesuai dengan masukan dari berbagai pihak termasuk DPR, agar asas gotong royong di mana PPN 12 persen dikenakan bagi barang yang dikategorikan mewah, maka kita juga akan menyisir kelompok harga untuk barang-barang dan jasa yang merupakan barang jasa kategori premium tersebut,” kata Sri Mulyani dalam konferensi pers “Paket Stimulus Ekonomi dan Kesejahteraan Masyarakat” di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Senin (16/12/2024), dikutip Kompas TV.
“Seperti rumah sakit Kelas VIP, pendidikan yang standar internasional yang berbayar mahal,” tambahnya.
Terkait PPN 12 persen, pemerintah juga membebaskan pajak terhadap beberapa sembako dan jasa.
Kelompok barang yang dibebaskan dari PPN adalah sembako, termasuk beras, daging, telur ikan, susu, serta gula konsumsi.
Di samping itu, pembebasan PPN berlaku pula untuk jasa pendidikan, kesehatan, angkutan umum, tenaga kerja, jasa keuangan, jasa asuransi, vaksin polio, hingga pemakaian air.
Menurut Sri Mulyani, pemerintah mengeluarkan dana sebesar Rp265,5 triliun rupiah untuk menanggung biaya PPN yang seharusnya dikenakan pada barang pokok kebutuhan masyarakat.
“Barang dan jasa tadi yang tidak membayar PPN, PPN-nya ditanggung pemerintah. Jadi waktu (PPN) 10 persen menjadi 11 dan 11 menjadi 12 (persen), barang-barang ini bahkan tidak membayar pajak atau PPN-nya dibebaskan,” terangnya.