Sekolah untuk Para Jagoan Politik

Sekolah untuk Para Jagoan Politik

Sang Godfather, Vito Corleone, ingin agar anak-anaknya menjadi orang terhormat; menjadi senator atau gubernur. Godfather yang diperankan aktor karismatik Marlon Brando sadar, bisnis Sisilia-nya berdarah dan dipandang publik sebagai bisnis hitam. Bagi Godfather, ‘mafia’ akan menjadi benar, putih, dan mungkin juga suci jika ia beririsan dengan politik.

Film trilogi yang diangkat dari novel karya Mario Puzo (1969) memang memotret bisnis mafia yang bergaul karib dengan kekuasaan. Ada tangan penyelenggara negara di balik eksistensi para jagoan. Ada orang kuat hingga institusi kekuasaan di belakang panggung kejahatan dan bisnis gelap. Polisi, senator dan mafia; kekuasaan dan bisnis gelap berkelindan satu sama lain.

Fenomena pertautan politik dan premanisme juga terjadi di Indonesia baik lokal maupun nasional. Masih dalam suasana pilkada serentak, kita bisa melihat di beberapa daerah, mereka yang berlatar jagoan ini masuk ke arena tarung elektoral. Keberadaan mereka hanyalah puncak gunung es dari realitas politik elektoral kita di mana premanisme mengakar kuat dengan dalil demokrasi.

Douglas Wilson (2015) nyaris secara lengkap menyoroti fenomenologi preman dan politik di Indonesia. Preman secara defacto menjadi penguasa wilayah tertentu dan memiliki pengaruh yang kuat atas masyarakat. Pengaruh ini menjadi modal bagi mereka untuk berjejaring dengan pebisnis dan penguasa. Keakraban yang aneh, tetapi wajar jika diletakkan pada garis kepentingan ekonomi. Mereka bisa berbentuk organisasi yang terstruktur dan teratur; bisa juga bertipe komunitas yang tidak organisatoris tetapi solid.

Pada praksisnya, para jagoan ini menjadi perpanjangan tangan pemilik modal dan politisi untuk menjaga dan mengontrol suatu wilayah ekonomi. Mereka juga kerap digunakan pemerintah sebagai aparatus tidak resmi untuk memastikan jalannya proyek ekonomi pembangunan. Dalam konteks elektoral, mereka memainkan peran strategis sebagai simpul atau patron dari suatu masyarakat tertentu. Modal politik ini turut membawa para jagoan ini yang semulanya menjadi pendukung calon tertentu atau memainkan peran pembantu menjadi pemeran utama dalam pertarungan elektoral.

Purifikasi dan Puncak Eksistensi

Ada dua acuan utama mengapa para jagoan ini masuk politik elektoral. Pertama, politik sebagai payung bisnis sekaligus purifikasi stigma sosial yang melekat pada mereka. Kedua, politik sebagai puncak eksistensi manusia.

Secara konsep, pertarungan elektoral membutuhkan modal politik seperti kapital (ekonomi), sosial, dan kultural. Kimberly L Casey (2008) mengkategorisasi modal politik menjadi tujuh; kelembagaan, sosial, manusia, simbolik, ekonomi, moral, dan budaya. Para jagoan masuk melalui pintu modal kapital. Modal ekonomi ini merekayasa modal lainnya untuk menjamin peluang mereka memenangkan pertarungan elektoral. Fenomena ini juga menunjukkan bahwa politik elektoral kita berharga sangat mahal. Dengan kekuatan modal, ektabilitas bisa direkayasa menjadi opini publik. Seseorang menjadi populer dengan status dan identitas baru "pebisnis". Politik menjadi semacam purifikasi sosial bagi para jagoan ini; menjadi semacam tameng imunitas dari kerentanan pidana. Kita bisa membaca ini juga sebagai hasrat untuk survivalitas bisnis mereka.

Tetapi ada yang melampaui survivalitas itu. Politik adalah puncak eksistensi seorang manusia. Edi Ryadi dalam Manusia Politik (2013) menyebut itu dengan istilah konstruksi eksistensial. Konteksnya, kebebasan dan pluralitas adalah syarat kehidupan politik. Sebaliknya ketidakbebasan dan ketunggalan adalah apolitis. Manusia (man) tidak manusiawi (human) jika apolitis. Tindakan politik manusia hanya dimungkinkan karena bebas dan plural. Maka tindakan politik adalah pencapaian puncak eksistensi manusia.

Masih dalam konteks itu, politik lantas dipahami sebagai sebuah proses kultural; bukan sebuah proses natural (Aristotelian) dan sosiologis (Hobbesian). Jadi bukan sebuah keniscayaan alami atau keniscayaan hasrat individual dalam kesosialan manusia, melainkan sebuah upaya sadar dan transformatif.

Tindakan (baca keterlibatan) para jagoan ini ke dalam politik bisa dimaknai dalam konteks konstruksi eksistensial itu. Para jagoan ini ingin menyucikan "manusia" mereka dari stigma sosial bahwa mereka "tidak manusiawi". Mereka preman. Maka dalam ruang kebebasan dan pluralitas, mereka melakukan tindakan politik yang mempertegas bahwa mereka manusia politik dan karenanya eksistensinya nyata.

Sekolah Politik

Kekuasaan di tangan orang yang tak paham mengelolanya bisa menjadi bencana. Itu seperti senjata api di tangan para perompak. Jelas, kita membutuhkan perimbangan bagi mereka –untuk mengutip Wayne LaPierre, CEO Asosiasi Senjata Api Amerika Serikat– satu-satunya cara menghentikan orang jahat bersenjata adalah kita butuh orang baik yang juga bersenjata.

Di sinilah peran penting institusi demokrasi terutama partai politik dan para cendekia; menjaga marwah dunia politik sebagai sebuah tatanan bukan situasi anarki. Dalam keterbatasan atau ketidakcukupan pengetahuan, maka tidak relevan publik mengharapkan tanggungjawab dan komitmen mereka. Ruang politik praktis rentan menjadi lahan transaksi keuntungan semata. Virtue politik menjadi samar dan akan lenyap. Tujuan besar politik juga akhirnya gagal dimaknai.

Dalam ruang keterbatasan pengetahuan itulah, diperlukan kehadiran "sekolah politik" sebagai mercusuar suara kritis. Partai politik sebagai tempat bernaung para jagoan ini harus memberikan pendidikan politik; mempertegas makna mereka sebagai manusia politik. Mereka harus masuk sekolah politik.

Sekolah politik bukan sekadar suatu institusi tetapi sebuah gerakan pengetahuan. Sekolah politik adalah soal ideologi dan cita-cita bangsa. Soal kesadaran kritis manusia politik dalam kehidupan politik. Tujuannya ruang-ruang politik kita diisi oleh manusia politik yang mumpuni.

Memang kerja-kerja kebijakan selalu melibatkan para staf ahli yang mampu mengisi kekosongan para jagoan ini. Kendati demikian, keputusan ada di tangan pemegang kekuasaan. Karena itu, pendidikan politik bukan sekedar perkara teknis memahami rumusan kebijakan tetapi terutama soal kesadaran mereka pada tanggung jawab sebagai pemegang mandat kekuasaan rakyat (baca demokrasi). Sekolah politik mendorong mereka untuk memaknai eksistensi mereka sebagai manusia politik yang ber-isme bonum commune, sebagaimana termaktub dalam konstitusi negara ini.

Refleksi

Jamak kita dengar saat ini ungkapan cita-cita tentang "Indonesia Emas". Tetapi itu akan menjadi omong kosong, jika ruang politik kita terisi oleh orang yang tidak paham cita-cita besar itu. Institusi-institusi demokrasi perlu merumuskan ulang mengenai sistem dan tata kelola politik demokrasi kita; terutama pengkaderan kepemimpinan.

Dalam perspektif kebebasan, setiap orang berhak memaknai eksistensinya sebagai manusia politik. Keterlibatan para jagoan ini dalam politik sepenuhnya bisa diterima dalam konteks konstruksi eksistensial. Tetapi juga merefleksikan kekacauan institusi demokrasi kita termasuk partai politik dalam aspek pengkaderan.

Ketika kita bicara mimpi bangsa soal Indonesia Emas, maka artinya kita berbicara tentang menyiapkan generasi muda yang berbasis pada kekuatan pengetahuan, kekuatan budaya dan kultural sebagai modal politik. Di sinilah ruang pengkaderan itu mesti diperbesar dan sekolah politik dihadirkan.

Panggung politik memang sebaiknya dimaknai sebagai pentas pemain-pemain politik "konstruksi eksistensial", seperti apapun latarnya. Tetapi tidak dominan dengan kekuatan jagoan melainkan kekuatan pengetahuan dan gagasan; kreativitas, komitmen, dan terutama tanggung jawab untuk menghadirkan kegembiraan bagi bangsa dari teater yang dipentaskan di panggung politik.

Edward Wirawan analis politik, peneliti di Lembaga Terranusa Indonesia

Sumber