Selewengkan 2,5 Ton Pupuk Bersubsidi, Warga Palangka Raya Terancam 2 Tahun Penjara
PALANGKA RAYA, KOMPAS.com - Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Kepolisian Daerah (Polda) Kalimantan Tengah (Kalteng) mengungkap kasus penjualan pupuk bersubsidi tanpa izin sebanyak 2,5 ton di Kota Palangka Raya.
Kasus ini menjadi perhatian mengingat pentingnya ketersediaan pupuk bersubsidi untuk program prioritas pemerintah berupa ketahanan pangan nasional.
Kepala Bidang Humas Polda Kalteng Kombes Erlan Munaji, mengatakan, pengungkapan kasus ini berawal dari laporan masyarakat terkait adanya penjualan pupuk bersubsidi jenis NPK Phonska di media sosial Facebook melalui marketplace.
“Dalam kasus ini kami mengamankan terduga pelaku berinisial RA (30) di kediamannya Jalan Mahir Mahar, Ditreskrimsus melalui Subdit I Indag segera melakukan langkah penyelidikan intensif kepada pelaku,” terang Erlan melalui keterangan resminya yang diterima Kompas.com, Minggu (15/12/2024).
Erlan menyebut, dalam menjalankan aksinya, RA membeli pupuk bersubsidi jenis NPK Phonska yang tidak terdaftar dalam sistem Elektronik Rencana Definitif kebutuhan kelompok tani di Kabupaten Kapuas.
“Setelah membeli dari Kapuas itu, terduga pelaku selanjutnya menjual pupuk itu di Kota Palangka Raya dengan metode pembeli datang langsung ke rumahnya,” bebernya.
Atas kasus ini, Erlan berjanji akan terus melakukan pengawasan ketat terhadap distribusi pupuk bersubsidi agar benar-benar sampai ke tangan petani.
Sementara itu, Direktur Reskrimsus Polda Kalteng, AKBP Rimsyahtono melalui Kasubdit I Indag AKBP Eddy Santoso menjelaskan bahwa untuk harga penjualan pupuk bersubsidi ini RA memasang tarif Rp 255.000, untuk satu karung pupuk berisi 50 Kg.
Dalam pengungkapan kasus ini, lanjut Eddy, petugas mengamankan mobil pikap, satu nota pembelian pupuk yang dikeluarkan UD Avisa Tani, dan 50 karung pupuk bersubsidi dengan berat masing-masing karung 50 Kg.
“Untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, pelaku akan disangkakan dengan Pasal 6 Ayat 1 Undang-Undang Darurat nomor 7 tahun 1955, dengan hukuman penjara paling lama dua tahun dan denda sebesar Rp. 100.000,” tandas Eddy.