Semrawut Penyelesaian Kasus Tambang Ilegal di Sekotong, APH Saling Lempar dan Enggan Berkomentar

Semrawut Penyelesaian Kasus Tambang Ilegal di Sekotong, APH Saling Lempar dan Enggan Berkomentar

KOMPAS.com - Kasus tambang emas ilegal di Sekotong, Lombok Barat, masih menemui jalan buntu.

Aparat penegak hukum (APH) terkesan saling lempar tanggung jawab dan enggan berkomentar sejak penutupan lokasi tambang oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Jumat (4/10/2024).

KPK bersama Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Nusa Tenggara Barat (NTB) menutup tambang yang beroperasi di kawasan hutan produksi terbatas (HPT) tersebut, yang diduga sudah beroperasi sejak 2021.

KPK memperkirakan kerugian negara akibat aktivitas ilegal ini mencapai sekitar Rp 1,8 triliun per tahun.

Dalam proses penambangan ilegal itu, pihak berwenang menemukan keterlibatan warga negara asing (WNA) asal China.

Namun, hingga saat ini, tindakan lebih lanjut terhadap WNA tersebut belum dilakukan oleh APH, dan ketika ditanya oleh wartawan, masing-masing instansi saling melempar tanggung jawab.

DLHK NTB juga mengungkapkan bahwa bahan kimia yang digunakan dalam proses penambangan, seperti merkuri, dapat mengancam kesehatan masyarakat dan lingkungan sekitar.

"Warga yang terpapar bahan kimia ini berisiko mengalami kemandulan, kelahiran bayi cacat, dan penyakit degeneratif yang mengerikan," ungkap pihak DLHK NTB, seperti yang dikutip dari NTBSatu.

Kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTB, Enen Saribanon, mengakui bahwa banyak perkara yang sedang ditangani oleh pihaknya pada tahun 2024.

Ia menyatakan bahwa kasus penambangan emas ilegal di Sekotong tidak menjadi prioritas saat ini.

"Banyak perkara yang kami tangani di sini. Jadi kami memilah mana yang lebih gampang, terus kemudian prioritas kami selesaikan," katanya pada Rabu (18/12/2024).

Enen menambahkan bahwa pihaknya akan mulai mendalami perkara tersebut pada tahun 2025 dan menjadikannya sebagai prioritas.

"Sekotong ini jadi prioritas kami di tahun 2025," tegasnya.

Sebelumnya, KPK menyoroti Imigrasi terkait WNA asal China yang memiliki Kartu Izin Tinggal Sementara (Kitas).

"Perlu keterbukaan, atensi. Imigrasi ini kok lebih mudah tangkap teroris daripada orang asing," kata Dian Patria, Kepala Satgas Korsup Wilayah V KPK pada 11 November 2024.

Menanggapi hal tersebut, Kasi Intelijen dan Penindakan Keimigrasian Kantor Imigrasi Kelas I TPI Mataram, Iqbal Rifai, menyatakan bahwa pihaknya telah melakukan langkah-langkah penyelesaian sesuai dengan prosedur.

"Kami sudah lakukan cekal. Kami sudah melakukan langkah-langkah itu dari awal semenjak kejadian itu," ujarnya pada 15 November 2024.

Iqbal menambahkan bahwa jika benar ada keterlibatan WNA asing di Sekotong, KPK seharusnya membuktikannya dengan foto dan video.

"Seharusnya soroti tambang ilegalnya dulu. Lah kok ini Imigrasi terus yang disorot," ujarnya, sembari menyatakan bahwa pihaknya telah menyerahkan nama tujuh WNA kepada Polres Lombok Barat.

Kepala Satreskrim Polres Lombok Barat, AKP Abisatya Dharma Wiryatmaja, enggan memberikan komentar saat ditanya mengenai kasus penambangan emas ilegal oleh tim Kompas.com.

"Saya tidak bisa berstatement," ujarnya pada Kamis (5/12/2024).

Ia menjelaskan bahwa alasan ketidakberaniannya berkomentar adalah karena belum mendapatkan izin dari Kepala Polres Lombok Barat, AKBP I Komang Sarjana.

Kasus ini menunjukkan kompleksitas dan tantangan yang dihadapi oleh aparat penegak hukum dalam menanggulangi aktivitas penambangan ilegal yang merugikan negara dan membahayakan kesehatan masyarakat.

Sumber