Sertifikasi Mahal dan Rumit Dinilai Hambat Perkembangan Pertanian Organik RI

Sertifikasi Mahal dan Rumit Dinilai Hambat Perkembangan Pertanian Organik RI

Bisnis.com, JAKARTA — Pengamat Pertanian dari Center of Reform on Economic (Core) Indonesia Eliza Mardian menilai proses sertifikasi yang rumit menjadi penghambat perkembangan pertanian organik di Indonesia.

Selain itu, sambungnya, biaya sertifikasi yang relatif mahal bagi pertani skala kecil turut serta menjadi biang kerok. Oleh karenanya, dia menilai perlu adanya penyederhanaan proses sertifikasi organik.

“Jika ingin mendorong petani di Indonesia di sertifikasi organik, maka yang perlu dilakukan adalah penyederhanaan proses sertifikasi organik dan penguatan kapasitas petani,” ujar Eliza kepada Bisnis, dikutip pada Minggu (8/12/2024).

Padahal, Eliza melihat adanya prospek yang baik terhadap pertanian organik di Indonesia.

“Apalagi jika awareness masyarakat terkait produk ramah lingkungan dan organik semakin meningkat, ini tentu menambah demand produk organik,” tuturnya.

Di samping itu, lanjut dia, banyak petani yang memiliki pengetahuan tradisional yang sejatinya sejalan dengan prinsip pertanian organik. Namun, mereka membutuhkan dukungan teknis dan finansial untuk bertransisi ke sistem organik yang tersertifikasi dan memerlukan dukungan dana bantuan untuk sertifikasi.

Selain itu, Eliza mengungkap masih ada beberapa tantangan krusial lain yang perlu mendapatkan perhatian serius dari berbagai kepentingan. Salah satunya adalah masih adanya masalah mendasar dalam aspek kelembagaan.

Eliza mengatakan lemahnya koordinasi antar kementerian/lembaga telah menciptakan kebijakan yang tumpang tindih dan implementasi program yang tidak efektif.

“Ditambah lagi dengan keterbatasan jumlah dan kapasitas penyuluh pertanian di daerah, ini menyebabkan petani seringkali tidak mendapat pendampingan yang memadai karena kalah jumlah,” tuturnya.

Bukan hanya itu, Eliza menambahkan, sistem monitoring pertanian juga disebut belum berjalan optimal. Imbasnya, sulit mengukur keberhasilan dan melakukan perbaikan program secara tepat.

Kemudian juga dari aspek sosial ekonomi. Dia mengungkap masih ada kesenjangan pengetahuan di kalangan petani, mengingat mayoritas petani di Indonesia berusia di atas 45 tahun. Serta, sulitnya akses ke sumber permodalan untuk konversi ke sistem organik masih terbatas.

“Untuk bisa transisi dari konvensional ke organik ini pada tiga kali tanam pertama ini akan turun produksinya, nanti seiring waktu akan kembali meningkat. Apakah ada skema yang dapat menanggung risiko selama proses transisi tersebut?” katanya.

Lebih lanjut, persoalan fundamental adalah tata niaga pangan yang dinilai masih karut marut. Dia menuturkan bahwa fluktuasi harga pasar yang tidak menentu sering membuat petani ragu untuk beralih ke pertanian organik.

Menurut Eliza, tanpa adanya terobosan kebijakan yang memadai untuk mengatasi permasalahan, maka pengembangan pertanian organik di Indonesia akan terus menghadapi hambatan serius sehingga peluangnya tidak dapat dioptimalkan dengan baik. 

Untuk itu, sambung dia, diperlukan bauran kebijakan yang komprehensif dan kemauan politik yang kuat dari pemerintah. “Mulai dari penguatan kelembagaan, peningkatan kapasitas penyuluh, hingga pemberian insentif ekonomi bagi petani yang bertransisi ke sistem organik,” pungkasnya.

Sumber