Shelter Tsunami di NTB Dikorupsi: Bangunan Retak, Jadi Kandang Ternak

Shelter Tsunami di NTB Dikorupsi: Bangunan Retak, Jadi Kandang Ternak

KPK baru-baru ini membongkar perkara dugaan korupsi 10 tahun lalu di Nusa Tenggara Barat (NTB), yaitu pembangunan shelter tsunami yang kini mangkrak. Apa yang sebenarnya terjadi?

Semua bermula pada 2012 saat Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyusun rencana induk atau masterplan pengurangan risiko bencana tsunami. Dalam masterplan itu terdapat pengadaan alat peringatan dini bencana tsunami hingga pembangunan shelter atau tempat evakuasi sementara (TES).

"Dalam masterplan tersebut disebutkan bahwa tempat evakuasi sementara atau shelter tsunami tersebut harus tahan terhadap gempa dengan kekuatan 9 skala Richter," kata Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur Rahayu dalam jumpa pers di kantornya pada 30 Desember 2024 sebagaimana dikutip lagi pada Jumat (3/1/2025).

Saat itu skala Richter masih digunakan untuk mengukur kekuatan gempa. Sedangkan saat ini menggunakan magnitudo atau disingkat M.

Singkatnya kemudian Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kementerian PUPR) pada tahun 2014 memerintahkan jajarannya menindaklanjuti. Adalah Aprialely Nirmala yang saat proyek berlangsung menjabat sebagai Kepala Satuan Kerja Penataan Bangunan dan Lingkungan (Satker PBL) Kementerian PUPR Perwakilan NTB sekaligus pejabat pembuat komitmen (PPK) yang diberi amanah.

Namun Aprialely malah merekayasa desain shelter. Selain itu, ada Agus Herijanto, yang saat itu sebagai Kepala Proyek PT Waskita Karya selaku pemenang tender proyek tersebut, mengetahui rekayasa tersebut serta melakukan penyimpangan keuangan hingga Rp 1,3 miliar. Keduanya saat ini sudah dijerat KPK sebagai tersangka.

"Kerugian keuangan negara sebesar Rp 18.486.700.654," kata Asep.

Lalu bagaimana nasib shelter itu sendiri?

Dalam keterangan Asep, shelter itu pernah disambangi beberapa kali oleh Raden Tresnawadi selaku Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Lombok Utara, yaitu dalam periode 2015-2016. Keterangan Raden Tresnawadi itu disampaikan Asep sebagai berikut

  1. Kondisi secara visual, banyak terjadi kerusakan di bagian-bagian lantai bawah, di halaman juga tidak terawat dan bahkan digunakan oleh penduduk sekitar untuk menggembalakan ternak.

  2. Bahwa jalur evakuasi (ramp) ke lantai atas kondisinya sangat mengkhawatirkan. Saudara Raden Tresnawadi pada saat naik melewati jalur evakuasi tersebut merasakan getaran pada cor yang dilewati dan terdapat retakan pada jalur tersebut.

Lalu 2 tahun setelahnya atau pada 2018 terjadi 2 kali gempa berselang sebulan di NTB yaitu kekuatan 6,4 SR pada 29 Juli 2018 dan 7,0 SR pada 5 Agustus 2018. Dua gempa yang cukup kencang itu membuat shelter mengalami rusak padahal awalnya shelter itu dirancang untuk bisa tahan gempa hingga 9 SR.

"Kondisi shelter rusak berat dan tidak bisa digunakan untuk berlindung," kata Asep.

KPK sendiri tidak hanya bersandar pada keterangan di atas. Dengan bantuan tim ahli dari Institut Teknologi Bandung (ITB), KPK menganalisis kondisi fisik shelter. Hasilnya sebagai berikut

  1. Pembangunan shelter atau tempat evakuasi sementara (TES) belum memenuhi tujuan perencanaan yang telah ditetapkan yaitu terwujudnya bangunan shelter yang dapat memberikan perlindungan terhadap tsunami harus diwujudkan pada tahun 2013-2014 guna menyelamatkan masyarakat dari bahaya tsunami, karena adanya kegagalan bangunan.

  2. Gedung TES Lombok yang dibangun tidak sepenuhnya memenuhi nota desain yang menjadi rujukan dalam perencanaan.

  3. Gedung TES Lombok sejak diselesaikan pembangunannya pada tahun 2014 belum dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.

  4. Gedung TES Lombok pada saat terjadi bencana mengalami kegagalan bangunan sehingga tidak dimanfaatkan pada kondisinya saat ini.

Simak juga Video ‘Detik-detik Pasutri di Dompu Terseret Banjir Bandang Bersama Rumahnya’

[Gambas Video 20detik]

Sumber