Siapa Muhammad al-Julani, Penguasa Baru Suriah?

Siapa Muhammad al-Julani, Penguasa Baru Suriah?

Hingga beberapa pekan lalu, Abu Muhammad al-Julani tidak banyak dikenal oleh dunia internasional.

Anonimitas itu sirna, ketika akhir pekan silam dia menumbangkan kekuasan Bashar al-Assad di Damaskus. Hanya dalam beberapa hari, kelompok milisi pimpinannya Hay’at Tahrir al-Sham bersama kelompok pemberontak lain, menggalang penaklukan kota-kota besar di Suriah Aleppo, Hama dan akhirnya ibu kota.

Al-Julani bersujud ketika tiba di gerbang Kota Damaskus, pada hari Minggu (8/12), dan mengumumkan berakhirnya kekuasaan dinasti Assad dalam sebuah pidato di Masjid Umayyah di pusat kota.

Jatuhnya Damaskus meniupkan harapan berakhirnya perang saudara di Suriah, yang berkecamuk selama 13 tahun setelah meletusnya Musim Semi Arab pada tahun 2011 lalu.

Selama beberapa tahun-tahun terakhir al-Julani beroperasi secara rahasia. Namun belakangan dia mulai jarang mengenakan sorban, dan sebaliknya lebih sering tampil dalam busana militer profesional dengan mengemban nama asli, Ahmed al-Sharaa.

Usai penaklukan Damaskus, dia rajin memberikan wawancara dengan media internasional.

Al-Julani atau al-Sharaa lahir di Arab Saudi pada awal tahun 1980-an. Ayahnya bekerja di sana sebagai insinyur hingga tahun 1989, menurut media Inggris BBC. Pada tahun yang sama, keluarganya pindah ke Masseh, sebuah distrik kaya di Damaskus.

Ayahnya dikatakan sebagai penentang rejim Assad dan mendekam bertahun-tahun di penjara Suriah sebelum diasingkan.

Usai serangan teroris 11 September 2001, al-Julani mulai terpikat pada propaganda organisasi teror Al-Qaeda. Pada tahun 2003 dia pergi ke Irak dan bergabung dengan Al-Qaeda, sebelum kemudian dijebloskan ke dalam penjara selama lima tahun.

Dia kembali ke kampung halaman pada tahun 2011 dan memimpin Front Al-Nusra, sayap militer Al-Qaeda di Suriah. Namun sejak itu, al-Julani mulai mengemban misi-misi nasionalis, dan menjauh dari mandat kekhilafahan global yang digariskan al-Qaeda.

Pada bulan Mei 2015, al-Julani menegaskan bahwa, tidak seperti ISIS, pihaknya tidak merencanakan serangan apa pun terhadap Barat dan hanya fokus membebaskan Suriah. Dia juga menyatakan jika Assad dikalahkan, tidak akan ada serangan balas dendam terhadap minoritas Alawi, yang merupakan keluarga Assad.

Ketika memutus aliansi dengan al-Qaeda, dia mengatakan niatnya agar Barat tidak punya alasan untuk menyerang organisasinya.

Pada bulan Januari 2017, al-Julani memaksa kelompok Islam saingan di barat laut Suriah untuk bersatu dengan HTS. Alhasil, HTS menguasai sebagian besar provinsi Idlib. Di wilayah-wilayah yang dikuasainya, HTS mendirikan pemerintahan sipil dan mendirikan semacam negara.

Pada saat yang sama, HTS dituduh oleh warga sipil Suriah dan organisasi hak asasi manusia melakukan tindakan brutal terhadap pembangkang. PBB mengklasifikasikan temuan pelanggaran HAM sebagai indikasi kejahatan perang.

Meskipun telah memunggungi al-Qaeda, HTS terus ditetapkan sebagai organisasi teroris Islam oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, Amerika Serikat, Inggris, dan sejumlah negara lain.

Selambatnya kini, dunia internasional akan memantau catatan HAM penguasa baru Suriah. "Fakta bahwa sejauh ini tidak ada kekerasan terhadap kelompok minoritas merupakan pertanda harapan," kata pakar Suriah James Dorsey dari Middle East Institute di Washington kepada DW.

Namun, mantan duta besar Jerman di Damaskus, Andreas Reinicke, berkomentar lebih skeptis. "HTS betapapun tetap berakar pada ideologi Islam garis keras serupa Al-Qaeda. Oleh karena itu, masa depan kelompok minoritas Kristen dan Kurdi di Suriah berpotensi terancam," katanya kepada Kantor Berita Katolik, KNA.

Untuk memoles citra, Julani di masa lalu pernah mengunjungi kamp-kamp pengungsi dan mengawasi upaya bantuan, misalnya saat gempa bumi tahun 2023. Dia menegaskan kepada penduduk Aleppo bahwa mereka tidak perlu mengkhawatirkan tindak kekerasan.

Saat ini, sekitar 20.000 umat Kristen masih menghuni Aleppo, dan puluhan ribu lainnya telah mengungsi dalam beberapa tahun terakhir. Al-Julani telah memerintahkan serdadunya untuk menjamin keamanan di wilayah yang baru ditaklukkan.

"Kebijakan semacam itu menandakan pendekatan politik yang baik," jelas Aron Lund dari lembaga politik Century International kepada kantor berita AFP. "Semakin sedikit kepanikan yang terjadi di tingkat lokal dan internasional, dan semakin al-Julani tampak sebagai aktor yang bertanggung jawab dibandingkan sebagai ekstremis jihad yang beracun, maka semakin mudah tugasnya," kata Lund menambahkan.

Pada saat yang sama, dia memperingatkan, "apakah dia benar-benar tulus? Tentu saja tidak." Meski menurutnya, pendekatan "ini adalah hal paling cerdas yang dapat Anda katakan dan lakukan saat ini."

Menurut BBC, HTS menerapkan strategi "jihad moderat" yang lebih pragmatis dibandingkan ideologi ketat. Pendekatan Julani dapat menunjukkan bahwa gerakan jihadis kaku seperti ISIS dan al-Qaeda mulai kehilangan pengaruhnya karena metode yang dianggap tidak efektif dan tidak berkelanjutan.

Artikel ini diadaptasi dari DW bahasa Jerman

Sumber