Siapa Saja Faksi-faksi Bersenjata di Suriah?
PARA pemberontak menguasai Suriah dan memaksa Presiden Bashar Al Assad kabur dari negara tempat keluarganya memerintah dengan tangan besi sejak awal tahun 1970-an atau selama setengah abad lebih.
Serangan mendadak aliansi para pemberontak Suriah yang dimulai jelang akhir November lalu akhirnya menumbangkan rezim Assad pada 8 Desember ini setelah lebih dari satu dekade berlangsung perang saudara.
Para pemberontak Suriah punya keinginan yang sama untuk menggulingkan pemerintahan Presiden Assad. Namun di luar hal itu, mereka tidak punya banyak kesamaan yang lain. Ideologi, keyakinan politik, dan pendukung internasional mereka sangat berbeda, bahkan bertentangan.
Saat mereka kini mencoba untuk membentuk pemerintahan transisi, faksi-faksi bersenjata dan berbagai kekuatan asing masih bertempur untuk mengisi kekosongan yang ditinggalkan pasukan pemerintah Assad. Dalam kekacauan yang muncul akibat kejatuhan Assad, muncul pertanyaan tentang siapa yang akan mengambil alih kekuasaan.
Berikut adalah faksi-faksi dalam aliansi para pemberontak Suriah
Hayat Tahrir al-Sham (Organisasi untuk Pembebasan Levant) merupakan bekas afiliasi Al Qaeda di Suriah. Kelompok itu telah memisahkan diri dari kelompok induknya, Al Qaeda, beberapa tahun lalu. Ketika menjadi afiliasi Al Qaeda, nama kelompok itu adalah Jabhat al-Nusra atau Front Nusra.
HTS selama ini mendominasi benteng terakhir kelompok oposisi Suriah di Provinsi Idlib.
HTS merupakan kelompok pemberontak utama yang memimpin serangan yang akhirnya menggulingkan Assad. HTS secara mendadak bergerak dari basisnya di barat laut Suriah dan dengan cepat menyebabkan jatuhnya pemerintahan Assad.
Anggota kelompok itu awalnya memiliki hubungan dengan ISIS, dan kemudian dengan Al Qaeda. Tahun 2016, mereka mencoba melepaskan akar ekstremis mereka, dan bersatu dengan beberapa faksi lain untuk mendirikan Hayat Tahrir al-Sham. Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya masih menganggapnya sebagai kelompok teroris.
Pemimpin HTS, Abu Mohammad al-Jolani, yang pada Senin (9/12/2024) melepaskan nama samarannya dan sekarang menggunakan nama asli, yaitu Ahmed al-Shara, mengatakan kepada The New York Times bahwa tujuan utama kelompoknya adalah “membebaskan Suriah dari rezim penindasan". Dia berusaha mendapatkan legitimasi dengan memberikan layanan kepada warga di wilayah kekuasaannya di Provinsi Idlib.
Menurut Center for Strategic and International Studies, lembaga penelitian yang berbasis di Washington, karena akar dan statusnya sebagai kelompok teroris, HTS kesulitan dalam mengumpulkan dana. Kelompok itu mengumpulkan uang dari tarif perbatasan, memungut pajak dari penduduk dan memegang monopoli atas layanan utilitas. Para analis mengatakan mereka juga terlibat dalam penyelundupan captagon, obat stimulan sintetis.
HTS tengah berusaha mengubah citranya menjadi lebih moderat. Dalam pernyataan terbaru, kelompok itu menyatakan komitmennya untuk melindungi situs-situs budaya dan agama di Aleppo, termasuk gereja-gereja.
Pasukan dari etnis minoritas Kurdi di Suriah (etnis Kurdi sekitar 10 persen dari populasi Suriah) menjadi mitra lokal utama Amerika Serikat dalam perang melawan ISIS di Suriah. Pasukan Kurdi itu berada di bawah bendera Pasukan Demokratik Suriah (Syrian Democratic Forces/SDF).
Setelah ISIS sebagian besar dikalahkan tahun 2019, pasukan Kurdi mengonsolidasikan kendali atas kota-kota di timur laut Suriah, memperluas wilayah otonom yang telah mereka bangun di sana.
Namun para pejuang Kurdi itu masih harus menghadapi musuh lama mereka, yaitu Turkiye dan pasukan yang didukung Turkiye. Turkiye menganggap SDF terkait dengan pemberontak separatis Kurdi di Turkiye, yaitu PKK (Partiya Karkeren Kurdistan) atau Partai Pekerja Kurdistan (organisasi politik dan militer yang berbasis di kawasan Turkiye dan wilayah-wilayah yang dihuni etnis Kurdi).
Turkiye menentang SDF karena hubungan kelompok itu dengan PKK dan telah lama memandang kehadiran SDF di dekat perbatasan Turkiye sebagai ancaman. Bahkan saat para pemberontak menguasai Damaskus, pertempuran berkobar antara Turkiye dan pasukan Kurdi di timur laut Suriah, yang berpusat di Manbij, sebuah kota yang dikuasai Kurdi di dekat perbatasan Turkiye. Menurut pihak Kurdi, setidaknya 22 anggota Pasukan Demokratik Suriah tewas di dan sekitar Manbij, dan 40 lainnya terluka.
Tentara Nasional Suriah merupakan kelompok payung yang mencakup puluhan kelompok dengan keyakinan berbeda. Kelompok itu menerima dana dan senjata dari Turkiye, yang telah lama fokus pada perluasan zona penyangga di sepanjang perbatasannya dengan Suriah untuk menghadapi aktivitas milisi Kurdi.
Turkiye ingin mendapatkan sebuah wilayah untuk merelokasi tiga juta pengungsi Suriah yang kini tinggal di wilayah perbatasannya. Namun, Turkiye kesulitan untuk mengharmonisasi kelompok-kelompok yang membentuk Tentara Nasional Suriah itu.
Kelompok itu sebagian besar terdiri dari elemen-elemen yang tersisa dari perang saudara Suriah, termasuk banyak kombatan yang oleh Amerika Serikat dianggap sebagai penjahat dan preman. Beberapa dari kelompok itu menerima pelatihan dari Amerika Serikat di awal perang, namun sebagian besar dianggap terlalu ekstrem atau terlalu kriminal.
Kebanyakan dari mereka tidak memiliki ideologi yang jelas dan telah beralih ke Turkiye untuk mendapatkan gaji sekitar 100 dolar AS per bulan saat kelompok tersebut dibentuk.
Pada 9 Desember ini, terjadi pertempuran sengit di kota Manbij antara Tentara Nasional Suriah, yang didukung serangan udara dan artileri Turkiye, dengan Pasukan Demokratik Suriah Kurdi atau SDF.
Menurut Syrian Observatory for Human Rights, kelompok pemantau perang yang berbasis di Inggris, kota Manbij telah direbut oleh Tentara Nasional Suriah. Seorang juru bicara Pasukan Demokratik Suriah mengatakan, anggota Tentara Nasional Suriah hanya menguasai 60 persen kota itu. Klaim tersebut tidak dapat diverifikasi secara independen.
Kelompok minoritas Druse di Suriah terkonsentrasi di Sweida, di Suriah barat daya. Di daerah itu jarang terjadi demonstrasi anti-pemerintah meskipun biaya hidup terus meningkat dan banyak pria Druse yang menolak wajib militer. Dua minggu lalu, para kombatan Druse bergabung dalam upaya untuk menggulingkan rezim Assad. Mereka melancarkan serangan di wilayah barat daya dan bentrok dengan pasukan pemerintah.
Para kombatan Druse merupakan bagian dari aliansi kelompok pemberontak Suriah yang baru dibentuk, yang mencakup para pejuang dari latar belakang lain, yang bekerja dengan nama “Pusat Operasi Selatan.”
Kaum Druse merupakan kelompok agama yang mempraktikan sebuah aliran Islam, yang dikembangkan pada abad ke-11. Ajaran aliran itu mengandung juga unsur kekristenan, hinduisme, gnostisisme, dan filsafat lainnya. Ada lebih dari satu juta orang Druse di Timur Tengah, sebagian besar berada di Suriah dan Lebanon, dan beberapa di Yordania dan Israel.
Negara Islam di Irak dan Suriah atau ISIS merebut wilayah yang luas di Suriah dan Irak tahun 2014. Kelompok itu membentuk sebuah rezim yang brutal sebelum kemudian dipukul mundur oleh koalisi pimpinan AS. Sekarang sebagian besar anggotanya bersembunyi.
The New York Times melaporkan, akhir-akhir ini ada tanda-tanda kebangkitan kelompok itu di Suriah di tengah ketidakstabilan di wilayah tersebut. Pentagon memperingatkan pada Juli lalu bahwa serangan ISIS di Suriah dan Irak diperkirakan meningkat dua kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya.
Menurut AS, ISIS telah berulang kali mencoba untuk membebaskan para anggotanya dari penjara dan mempertahankan pemerintahan bayangan di wilayah Suriah timur laut.
Presiden AS, Joe Biden, mengumumkan pada Minggu (8/12/2024) bahwa militer AS telah melakukan serangan udara di Suriah untuk mencegah ISIS menguat di tengah kekosongan kekuasaan yang disebabkan oleh penggulingan Assad.
AS memiliki sekitar 900 tentara di Suriah untuk membantu membendung dan mengalahkan sisa-sisa ISIS di daerah itu. AS belum memberikan tanggal kapan akan mengakhiri kehadirannya di negara tersebut. AS hanya mengatakan bahwa hal itu bergantung pada kondisi di Suriah. Kondisi tersebut kini telah berubah drastis.
“Kami memahami dengan jelas fakta bahwa ISIS akan mencoba memanfaatkan kekosongan untuk membangun kembali kemampuannya, untuk menciptakan tempat yang aman,” kata Biden. “Kami tidak akan membiarkan hal itu terjadi,” tegas Biden.