Sidang Kasus Timah, Ahli Sebut Kerusakan Lingkungan Bisa Dihitung Sebagai Kerugian Negara
JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar pidana Agus Surono menyebut, kerusakan lingkungan bisa dihitung sebagai kerugian negara atau actual loss.
Keterangan ini Agus sampaikan ketika dihadirkan sebagai saksi dugaan korupsi pada tata niaga timah dengan terdakwa eks Direktur Utama PT Timah Tbk Mochtar Riza Pahlevi Tabrani dan kawan-kawan.
Mulanya, Hakim Anggota Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Fahzal Hendri menanyakan apakah kerusakan lingkungan akibat aktivitas tambang bisa dihitung sebagai kerugian negara.
Sementara, kata Fahzal, Mahkamah Konstitusi (MK) Melalui putusannya menyatakan bahwa kerugian negara harus bersifat nyata.
“Apakah kerugian itu (lingkungan) bisa dianggap kerugian negara?” tanya Hakim Fahzal di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (7/11/2024).
Menurut Agus, jika kerugian akibat kerusakan lingkungan itu bisa dihitung secara jelas dengan kaidah yang berlaku, maka dampak kerusakan ekologi bisa dihitung sebagai kerugian nyata.
Meski demikian, Agus mengaku dirinya bukan ahli kerugian lingkungan sehingga tidak bisa menjelaskan lebih jauh.
“Soal begini kerugian ekologi itu mungkin sudah dibayarkan mungkin tidak diserahkan ke negara. Apakah itu bisa dikatakan sebagai potensial loss atau actual loss?“ tanya Hakim Fahzal lagi.
“Yang berkaitan dengan kerusakan dan seterusnya itu nyata dan pasti,” jawab Agus.
Dalam perkara korupsi ini, negara diduga mengalami kerugian keuangan hingga Rp 300 triliun.
Mantan Direktur Utama PT Timah Tbk, Mochtar Riza Pahlevi Tabrani, eks Direktur Keuangan PT Timah Emil Ermindra, dan kawan-kawannya didakwa melakukan korupsi ini bersama-sama dengan crazy rich Helena Lim.
Perkara ini juga turut menyeret suami aktris Sandra Dewi, Harvey Moeis yang menjadi perpanjangan tangan PT Refined Bangka Tin (RBT).
Bersama Mochtar, Harvey diduga mengakomodasi kegiatan pertambangan liar di wilayah IUP PT Timah untuk mendapat keuntungan.
Harvey menghubungi Mochtar dalam rangka untuk mengakomodir kegiatan pertambangan liar di wilayah IUP PT Timah.
Setelah dilakukan beberapa kali pertemuan, Harvey dan Mochtar menyepakati agar kegiatan akomodasi pertambangan liar tersebut di-cover dengan sewa menyewa peralatan processing peleburan timah.
Selanjutnya, suami Sandra Dewi itu menghubungi beberapa smelter, yaitu PT Tinindo Internusa, CV Venus Inti Perkasa, PT Stanindo Inti Perkasa, dan PT Sariwiguna Binasentosa untuk ikut serta dalam kegiatan tersebut.
Harvey meminta pihak smelter untuk menyisihkan sebagian dari keuntungan yang dihasilkan. Keuntungan tersebut kemudian diserahkan ke Harvey seolah-olah sebagai dana corporate social responsibility (CSR) yang difasilitasi oleh Helena selaku Manager PT QSE.
Dari perbuatan melawan hukum ini, Harvey Moeis bersama Helena Lim disebut menikmati uang negara Rp 420 miliar.
“Memperkaya terdakwa Harvey Moeis dan Helena Lim setidak-tidaknya Rp 420.000.000.000,” papar jaksa.
Atas perbuatannya, Harvey Moeis didakwa melanggar Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP dan Pasal 3 UU Tahun 2010 tentang TPPU.