Sidang Korupsi di Basarnas, Hakim Singgung Keterangan Saksi Kadang Sudah Dikondisikan
JAKARTA, KOMPAS.com - Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat menegur dan menyebut saksi di persidangan terkadang sudah dikondisikan untuk menyampaikan keterangan sesuai pesanan pihak tertentu.
Peristiwa ini terjadi ketika hakim anggota Alfis Setiawan tengah mencecar eks Kepala Unit Layanan Pengadaan (ULP) Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas), Kamil.
Ia dihadirkan sebagai saksi dugaan korupsi pengadaan truk angkut personel 4WD dan rescue carrier vehicle.
Mulanya, Hakim Alfis mengkonfirmasi apakah pemenang lelang sudah selalu ditentukan dalam setiap proses tender pengadaan barang dan jasa.
“Ini memang hal yang lumrah di Basarnas bahwa setiap ada pengadaan itu sudah ditentukan pemenang lelangnya siapa?” tanya Hakim Alfis di ruang sidang, Kamis (2/1/2025).
“Izin Yang Mulia kayaknya itu bukan wilayah saya,” jawab Kamil.
Hakim Alfis terus menggali keterangan dari Kamil dan membujuknya untuk menyampaikan keterangan sebenarnya.
Ia merasa heran karena Kamil merupakan pegawai yang menjabat di bagian pengadaan. Namun, ia mengeklaim tidak tahu.
“Sepengetahuan saudara ini karena saudara di lingkungan itu,” ujar Hakim Alfis.
“Eggak tahu,” jawab Kamil lagi.
Mendengar ini, Hakim Alfis lantas mengingatkan agar Kamil menyampaikan informasi yang diketahui dengan jujur.
Menurutnya, terkadang orang-orang yang dihadirkan sebagai saksi di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat sudah dikondisikan. Gelagat itu sudah diketahui majelis hakim.
“Tapi kadang-kadang saksi ini di persidangan sebelum sidang sudah ada juga yang ngajarin, nanti ngomongnya ini ya, yang ini enggak usah dibilang,” tutur Hakim Alfis.
“Ada juga yang kayak gitu, kami sudah paham itu. Udah banyak saksi yang kita periksa di pengadilan ini,” katanya.
Namun, lagi-lagi Kamil mengaku tidak mengetahui.
Hakim Alfis lantas kembali mengingatkan agar Kamil tidak mengikuti arahan pihak tertentu agar dirinya tidak memberikan keterangan dengan jujur.
Tujuannya, agar majelis hakim tidak keliru dalam menilai fakta persidangan dan menjatuhkan hukuman.
“Kalaupun mungkin sebelumnya ada pihak-pihak tertentu yang minta Saudara jelaskan yang ini saja ya, yang ini tidak perlu dijelaskan. Itu enggak usah didengar,” kata Hakim Alfis.
“Siap,” jawab Kamil.
Sepanjang sidang, Kamil tidak menjawab dengan gamblang pertanyaan yang diajukan jaksa maupun majelis hakim. Hal ini membuat hakim sempat bertanya dengan nada tinggi.
Karena jawaban berbelit-belit, jaksa dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bahkan sampai mengingatkan ancaman Pasal 21 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terkait perintangan penyidikan.
Dalam perkara ini, Basarnas membeli sekitar 30 truk angkut personel 4 WD dengan pembiayaan Rp 42.558.895.000.
Padahal, dana yang sebenarnya digunakan untuk pembiayaan itu hanya Rp 32.503.515.000. Artinya, terdapat selisih pembayaran sebesar Rp 10.055.380.000.
Sementara itu, pembayaran 75 rescue carrier vehicle sebesar Rp 43.549.312.500 dari nilai pembiayaan sebenarnya Rp 33.160.112.500. Artinya terdapat selisih Rp 10.389.200.000.
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) kemudian memasukkan selisih itu sebagai kerugian negara dalam Laporan Hasil Perhitungan Investigatif.
Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendakwa Max memperkaya diri sendiri Rp 2,5 miliar, memperkaya Direktur CV Delima Mandiri sekaligus penerima manfaat PT Trikarya Abadi Prima, William Widarta selaku pemenang lelang dalam proyek ini sebesar Rp 17.944.580.000.
Perbuatan mereka disebut merugikan keuangan atau perekonomian negara sebesar Rp 20.444.580.000.