Sinyal Tobat DPR Tak Lagi Ugal-ugalan Bikin Undang-undang
JAKARTA, KOMPAS.com - DPR RI mengakui mereka menyusun sebagian undang-undang secara kilat dan tanpa partisipasi publik pada periode 2019-2024.
Hal ini menjadi poin utama evaluasi kinerja dalam rapat yang diselenggarakan Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Senin (28/10/2024).
Anggota Baleg dari Fraksi PKS, Al Muzzammil Yusuf mengungkit bahwa Baleg 2019-2024 mendapatkan perhatian publik yang sangat besar karena mengabaikan partisipasi bermakna dari publik dalam penyusunan undang-undang.
Ia membandingkan, pada awal ia bertugas di Baleg pada 2004, Baleg sampai turun ke kampus-kampus untuk menggelar rapat dengar pendapat umum (RDPU).
Hal itu dimaksudkan agar DPR RI memperoleh pandangan yang luas dan beragam mengenai suatu pokok masalah, sehingga setiap fraksi dapat memilah pandangan yang akan mereka gunakan sebagai pandangan fraksi nantinya.
"Saya harus jujur katakan dalam periode baleg kita kemarin ada undang-undang yang 3 hari, seminggu, 1 hari. Kapan publik berpartisipasi? Tidak mungkin. Itu kritik besarnya," ujar Muzzammil.
Sementara itu, pada periode lalu, ia mengakui bahwa Baleg tidak mendengar publik dan pakar, terutama pada undang-undang yang penyusunannya dikebut dalam satu minggu, misalnya.
"Di situ saya kira partisipasi bermakna kita hidupkan kembali," kata Muzzamil.
"Itu praktis relatif tidak terjadi di periode kemarin. Baleg tahu sekali itu. Itu yang kita hindarkan, sehingga kualitas undang-undang kita terjamin," ujar dia menegaskan.
Prolegnas prioritas tak tuntas
Mereka juga mengakui banyak undang-undang yang disahkan pada periode jangka menengah 2020-2024 bukan merupakan rancangan undang-undang (RUU) di dalam daftar program legislasi nasional (Prolegnas) yang telah disepakati di awal periode, melainkan RUU kumulatif terbuka.
“Saya melihat menyangkut dengan kumulatif terbuka ini banyak kepentingan-kepentingan elite di situ, tapi prolegnas yang betul-betul kepentingan masyarakat kita abaikan,” ujar anggota Baleg DPR RI dari Fraksi Partai Nasdem, Muslim Ayub.
"Sudah jelas kita mendengar di hadapan kita semua, pengalaman-pengalaman selama ini kita melihat banyak kali ketimpangan yang terjadi antara RUU (hasil) prolegnas dengan kumulatif terbuka. Ini yang mendasar sekali ini,” kata dia.
Sebagai contoh, teranyar, DPR RI mengesahkan UU Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) dan UU Kementerian Negara sebagai RUU kumulatif terbuka.
Keduanya direvisi secara cepat untuk mengakomodasi rencana penambahan jumlah kementerian dan penguatan Wantimpres.
Ayub menilai, RUU kumulatif terbuka lebih condong pragmatis untuk kepentingan elite, padahal ada banyak RUU kepentingan rakyat yang tak kalah mendesak.
“Banyak mungkin kepentingan-kepentingan pragmatis di situ, seperti menyangkut UU Dewan Pertimbangan Presiden, UU Kementerian Negara, itu secepat kilat di situ diselesaikan. Sementara, UU untuk kepentingan rakyat sendiri sudah berulang tahun di sana. Ada yang ulang tahun ke-10, ada yang ke-5 tahun, tapi diabaikan sama sekali,” ujarnya.
Jadi tukang urus titipan
Anggota Baleg dari fraksi PAN, Saleh Partaonan Daulay, pun meminta agar alat kelengkapan dewan itu tak lagi hanya mengurusi pembuatan undang-undang berbau "titipan".
Saleh mengungkit bagaimana RUU yang beraroma titipan lebih banyak disahkan ketimbang RUU dalam prolegnas yang justru tidak selesai dibahas.
"Karena itu kita ini mengimbau kepada kita ini, tolong yang program legislasi nasional yang sudah disepakati, terutama yang antara kita dengan pemerintah ini, menjadi betul-betul program legislasi yang betul-betul memang kita perjuangkan," kata Saleh.
Jika suatu RUU memang tak ingin diperjuangkan, maka hal itu, menurut dia, sebaiknya tak perlu dimasukkan ke dalam prolegnas.
"Jangan seperti tiba-tiba muncul ide ‘udah bikin UU ini, dibuat’ ya kan, ada titipan dari luar, buat (UU), ada titipan dari mana, buat (UU)," ujar dia.
Ia juga menilai ironis sejumlah RUU justru dapat selesai secara kilat di Baleg, padahal Baleg menurutnya merupakan alat kelengkapan dewan (AKD) yang mestinya paling rumit karena jumlah anggotanya lebih gemuk daripada komisi-komisi yang ada di DPR RI.
"Baleg ini coba berapa ini, 90 orang ya, jadi makin banyak pikiran yang bicara maka akan sulit untuk disatukan pikiran itu. Tetapi faktanya, lebih cepat selesai (UU) di sini, ini kan jadi aneh gitu," ujar Saleh.
Akankah berlanjut?
Wakil Ketua Baleg, Ahmad Doli Kurnia, mengeklaim bahwa preseden ini akan dihindari dalam proses legislasi periode 2024-2029.
Masalah prolegnas ataupun daftar kumulatif terbuka, ujarnya, hanya metodologi. Namun, ia menegaskan bahwa penyusunan undang-undang ke depan harus tertib prosedur.
"Saya kira kita semua harus membangun komitmen baru termasuk pak ketua dan pimpinan bahwa pembahasan undang-undang khususnya di Baleg ini harus sesuai prosedur dan materil," ujar Doli dalam rapat Baleg tersebut.
Ia menyatakan, penyusunan undang-undang memang harus dimulai dari rancangan naskah akademik, rancangan undang-undang, uji publik, dan seterusnya.
"Apa yang disampaikan Pak Muzzammil ini nanti kita coba untuk tata ulang lagi supaya semuanya rapi," ucap Doli.
"Output-nya adalah bagaimana undang-undang itu undang-undang yang sebaik mungkin, berkualitas, dan dapat menjawab persoalan bangsa dan negara Indonesia, kan kira-kira itu," kata dia menegaskan.
Akan tetapi, peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus sebelumnya memperkirakan bahwa gelagat DPR sebagai "tukang stempel" akan tetap berlanjut pada periode sekarang.
Lucius menilai, nasib RUU yang akan ditolak atau disahkan di parlemen juga tidak akan bergantung pada dinamika politik internal DPR semata, melainkan tergantung kemauan presiden dengan koalisi yang menguasai mayoritas kursi parlemen.
Modusnya adalah dengan menempatkan revisi undang-undang itu sebagai RUU kumulatif terbuka, sebagaimana baru saja ditempuh untuk memuluskan revisi UU Keimigrasian dan UU Kementerian Negara.
Padahal, RUU kumulatif terbuka semestinya diperuntukkan untuk RUU yang tidak terkait langsung dengan fungsi legislasi, semisal RUU APBN yang berkaitan dengan fungsi anggaran atau RUU terkait ratifikasi perjanjian internasional agar berkekuatan mengikat.
"Ada begitu banyak RUU yang mestinya RUU prioritas gitu ya, harus dibahas dengan memperhatikan partisipasi publik, tapi oleh DPR karena mau mencomot atau merubah satu atau dua pasal saja, mereka masukkan itu dalam daftar kumulatif terbuka," ujar Lucius.
Preseden RUU kilat
UU Cipta Kerja merupakan contoh paling mencolok dari undang-undang yang disahkan dengan sangat cepat dan penuh kontroversi.
UU ini awalnya tidak termasuk dalam prolegnas, meskipun ide untuk membuat omnibus law telah disuarakan Jokowi, namun tiba-tiba muncul dan disahkan dalam 7 bulan.
Selama periode itu, ada 64 kali rapat, termasuk rapat yang dikebut hingga dini hari dan masa reses–proses yang belakangan dinyatakan Mahkamah Konstitusi (MK) inkonstitusional bersyarat secara formil/prosedur.
Begitu pula UU Mineral dan Batubara (Minerba) yang disahkan hampir sama cepatnya di tengah pandemi dan secara substantif dianggap lebih menguntungkan kepentingan korporasi besar ketimbang lingkungan dan masyarakat terdampak, khususnya dalam hal perpanjangan izin.
Revisi UU KPK juga dikerjakan hanya dalam 12 hari. DPR dengan begitu tangkas mengesahkannya meski diprotes keras masyarakat sipil dan mahasiswa.
Secara substantif, para pakar dan eks pejabat KPK menuding beleid ini sebagai biang kerok melemahnya KPK, mencakup soal langkah penyadapan yang tak lagi seefektif dulu hingga masalah independensi para komisionernya yang belakangan terbukti lewat putusan dewan pengawas.
UU IKN setali tiga uang. Bukan proyek sepele dan tak pernah dibahas sebelumnya dalam janji politik maupun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), UU IKN hanya dibahas dalam 43 hari.
Tak sedikit akademisi dan pakar menilai bahwa studi kelayakan dan analisis dampak lingkungan serta sosialnya diperhatikan secara mendalam. Persoalan anggarannya pun belum tuntas dikupas. Namun, pemindahan ibu kota berjalan mulus.