Soal Amnesti untuk Koruptor, YLBHI: Bertentangan dengan Asas Keadilan

Soal Amnesti untuk Koruptor, YLBHI: Bertentangan dengan Asas Keadilan

JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) M. Isnur menegaskan bahwa pemberian amnesti atau abolisi kepada koruptor dengan syarat mengganti kerugian negara adalah tindakan yang bertentangan dengan asas keadilan.

Isnur menyatakan bahwa korupsi merupakan kejahatan luar biasa yang dapat merusak rasa keadilan masyarakat.

"Ini sangat bertentangan dengan prinsip di mana korupsi adalah kejahatan yang luar biasa sehingga tentu ini akan merusak rasa keadilan masyarakat," ujar Isnur saat dihubungi Kompas.com pada Senin (23/12/2024).

Lebih lanjut, Isnur menjelaskan bahwa koruptor tidak akan mampu memulihkan kerugian negara, baik dalam bentuk uang, lingkungan, maupun sosial.

"Kalau kerugian bukan dalam bentuk uang, bisa enggak dia (koruptor) mengembalikan lubang-lubang tambang yang sudah rusak? Bisa enggak mengembalikan banyak anak-anak yang meninggal gara-gara lubang tambang?" ujarnya.

Isnur menekankan bahwa jika Presiden ingin menunjukkan ketegasan dalam pemberantasan korupsi, maka hukuman yang dijatuhkan kepada koruptor haruslah seberat-beratnya karena merugikan dan menyengsarakan rakyat.

"Dampaknya adalah membunuh nyawa banyak orang, orang enggak bisa punya pekerjaan, banyak orang kecelakaan akibat jalan ini korupsi, banyak orang enggak bisa sekolah," tuturnya.

"Jadi bertentangan dengan asas keadilan, dengan prinsip perlindungan warga negara, Itu bertentangan (amnesti untuk koruptor)," sambungnya.

Dia juga menyarankan agar pemerintah lebih baik membahas dan mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset, daripada memberikan amnesti kepada koruptor.

"Kalau mau, ratifikasi dulu undang-undang perampasan aset. Merampas dulu aset semua koruptor, miskinkan mereka," ucap Isnur.

Dikutip dari Kompas.id, Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra mengungkapkan bahwa ada kemungkinan ribuan koruptor akan diberi amnesti atau abolisi oleh pemerintahan saat ini, dengan syarat mengganti kerugian negara.

"Nah, jadi sedang dikaji oleh para menteri, Pak Supratman (Menteri Hukum) terutama, ya. Bahwa rencana Presiden akan memberikan amnesti kepada koruptor itu dengan sukarela mengembalikan harta atau uang negara yang mereka korupsi," jelas Yusril di kantornya pada Jumat (20/12/2024).

Amnesti ini tidak hanya berlaku bagi koruptor yang sudah dihukum pengadilan, tetapi juga bagi mereka yang masih dalam proses hukum dugaan tindak pidana korupsi.

Jika abolisi diberikan oleh Presiden, penuntutan perkaranya dapat dibatalkan.

Presiden menyampaikan pernyataan ini saat bertemu mahasiswa Indonesia di Universitas Al-Azhar, Mesir, pada Rabu (18/12/2024).

Yusril juga mengungkapkan bahwa jumlah narapidana kasus korupsi yang dapat memperoleh amnesti atau abolisi bisa mencapai ribuan, meskipun kebanyakan dari mereka yang akan mendapatkan amnesti adalah yang tersangkut kasus narkoba.

"Yang korupsi itu cuma berapa ribu, lah. Yang paling banyak narkotika,” ungkapnya.

Rencana pemberian amnesti dan abolisi pertama kali diungkapkan oleh Supratman di Kompleks Istana Kepresidenan pada 13 Desember.

Saat itu, ia menyebutkan bahwa sekitar 44.000 narapidana akan memperoleh pengampunan hukuman, tanpa menyebutkan rencana khusus untuk koruptor.

Pengampunan hanya diberikan pada mereka yang tersangkut kasus penghinaan kepada kepala negara, pengguna narkotika, narapidana yang sakit berkepanjangan, dan narapidana yang terkait dengan kasus Papua.

Yusril menegaskan bahwa pemberian amnesti atau abolisi bagi koruptor tidak melanggar konstitusi.

UUD 1945 mengatur bahwa Presiden dapat memberikan grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi dengan pertimbangan dari DPR.

Dia juga merujuk pada presiden sebelumnya yang pernah memberikan amnesti, seperti pada masa Presiden BJ Habibie dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

Pada masa BJ Habibie, kala itu, amnesti pernah diberikan kepada setiap orang yang terlibat dengan politik dan dipidana karena berseberangan dengan rezim Orde Baru.

Kemudian, di era Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid, abolisi dan amnesti pernah diberikan pada pemberontak Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Aceh.

Yusril menambahkan, amnesti dan abolisi akan diatur menggunakan keputusan presiden (keppres). Dalam keppres itu akan disebutkan bahwa barang siapa yang terlibat korupsi tetapi mengembalikan kerugian negara dinyatakan diampuni.

Dalam konteks kekhawatiran masyarakat sipil mengenai hilangnya efek jera akibat amnesti ini, Yusril menyatakan bahwa paradigma pemidanaan saat ini tidak lagi menekankan pada efek jera, melainkan pada keadilan korektif, restoratif, dan rehabilitatif.

Penegakan hukum dalam tindak pidana korupsi, menurutnya, harus mampu membawa manfaat dan menghasilkan perbaikan ekonomi.

Sumber