Sosok Margono Djojohadikoesoemo, Kakek Prabowo Pendiri BNI dan Perannya dalam Kemerdekaan
JAKARTA, KOMPAS.com - Kakek Presiden Prabowo Subianto, Margono Djojohadikoesoemo dinilai layak diberi gelar Pahlawan Nasional.
Menteri Sosial (Mensos) Saifullah Yusuf atau Gus Ipul berpandangan bahwa ada banyak nilai-nilai kepahlawanan yang dapat diteladani dari Kakek Prabowo tersebut.
Oleh sebab itu, Gus Ipul menilai bahwa Margono Djojohadikoesoemo layak mendapatkan gelar Pahlawan.
Namun, dia mengatakan, pemberian gelar pahlawan dilakukan oleh Pemerintah sesuai dengan proses yang sudah ditentukan. Termasuk, jika diberikan kepada kakek Prabowo.
"Kalau ada yang nanya, (jawabannya) sangat layak dan diproses bagaimana mestinya," kata Gus Ipul saat ditemui di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, Jakarta Selatan, Minggu (10/11/2024).
Lantas, siapakah sosok Margono Djojohadikoesoemo?
Margono adalah cucu buyut dari Raden Tumenggung Banyakwide atau lebih dikenal dengan sebutan Panglima Banyakwide, pengikut setia dari Pangeran Diponegoro, dan anak dari asisten Wedana Banyumas.
Dikutip dari esi.kemendikbud.go.id atau laman ensiklopedia yang dikelola Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Margono lahir di Purbalingga pada 16 Mei 1894.
Bergelar Raden Mas (RM), Margono mendapatkan kesempatan pendidikan yang lebih bagus. Saat usia enam tahun atau pada 1990, dia bisa mengenyam pendidikan dasar Europeesche Lagere School (ELS) dan berhasil menamatkan pendidikan dasarnya pada tahun 1907.
Setelah lulus, Margono kemudian melanjutkan pendidikannya di sekolah calon pegawai negeri atau Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA) dan lulus ujian masuk klein ambtenaar.
Margono tercatat menyelesaikan pendidikan di OSVIA selama empat tahun. Kemudian, dia juga sempat melanjutkan pendidikannya di Belanda.
Pada 1991, Margono bekerja sebagai juru tulis di Banyumas dan beberapa bulan kemudian diangkat menjadi juru tulis Asisten Wedana Banyumas di Pejawaran.
Kariernya sangat bagus karena setahun kemudian Margono diangkat menjadi juru tulis di kantor kejaksaan di Cilacap.
Namun, Margono belum sempat pindah ke Cilacap karena dia mengikuti pelatihan pejabat Volkscredietwezen di Purwerejo. Sebab, ternyata dia melamar pekerjaan pada dinas Volkscredietwezen atau semacam dinas perkreditan rakyat.
Kemudian, sewaktu di Purwerejo Margono menikahi Siti Katoemi Wirodihardjo pada 1951.
Dari pernikahan tersebut, Margono dan Siti dikaruniai lima orang anak yakni Soemitro Djojohadikoesoemo yang merupakan ayah dari Prabowo Subianto. Lalu, Soekartini Djojohadokoesoemo, Miniati Djojohadokoesoemo, Subianto Djojohadokoesoemo, dan Sujono Djojohadokoesoemo.
Setelah itu, Margono diterima sebagai pegawai di Dinas Perkreditan Rakyat. Sebulan kemudian, jabatan Margono naik dan menduduki jabatan yang hanya dijabat oleh orang Belanda di Madiun.
Kemudian, pada 1930, Margono dipindahkan ke Jakarta untuk bekerja di Algemene Volkscredietbank atau bank milik pemerintah Hindia Belanda yang nantinya menjadi Bank Rakyat Indonesia.
Saat itu, Margono bertugas membantu mengatur Jawatan Koperasi, sebuah divisi yang baru dibentuk saat itu.
Kecakapannya dalam bekerja membuat pejabat Hindia Belanda mengirimnya ke Belanda untuk membantu pada Kementerian Urusan Jajahan pada tahun 1937.
Margono menduduki jabatan pada bagian urusan kesejahteraan yang tugas khususnya adalah mempelajari berbagai laporan dari pemerintah Hindia Belanda.
Setelah mengemban tugas di Belanda, kemudian Departemen Urusan Ekonomi Hindia Belanda memanggilnya pulang karena keterbatasan tenaga. Pekerjaan ini diembannya hingga Indonesia diduduki oleh Jepang pada tahun 1942.
Jiwa nasionalis Margono mulai terpupuk saat bekerja bersama Mohammad Hatta.
Usai dibebaskan dari pengasingan di Banda Neira, Hatta disebutkan memanggil Margono untuk bekerja di kantor koperasi yang dipimpin olehnya. Akan tetapi, dia tidak lama bekerja dengan Hatta.
Margono kembali ke Volkscredietbank. Saat itu, pemerintah Jepang mengganti dinas Volkscredietbank dengan Shomin Ginko (Bank Rakyat), dia tidak hanya mengurusi masalah perkreditan tetapi juga mengurusi masalah pangan seperti penyimpanan bahan makanan atau mengurusi lumbung makanan dari petani.
Setelah itu, Margono memutuskan untuk membantu Mangkunegara VII untuk bekerja kepada Keraton Mangkunegaran guna membentuk Departemen Perekonomian.
Saat itu, dia mendapat tugas dalam penyediaan bahan makanan, penyuluhan terhadap petani, mengurus jawatan peternakan, dan mengawasi rumah-rumah gadai.
Dikisahkan, bertugas mengawasi penyediaan bahan makanan masa Jepang adalah hal yang sangat berat karena banyak hasil pertanian rakyat yang harus diserahkan kepada Jepang. Atas dasar itu, Margono kemudian memanipulasi pasukan Jepang terkait hasil pertanian agar rakyat tetap aman persediaan bahan makanannya.
Pada Juli 1945, atas usul Hatta, Margono kembali dipanggil ke Jakarta untuk bekerja pada kantor pusat pengawasan bahan makanan bersama dengan Mr. A.K. Pringgodigdo. Pekerjaan ini berlanjut hingga Jepang menyerah dan Indonesia memproklamasikan kemerdekaan.
Setelah Indonesia merdeka, Margono ditunjuk sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA) yang bertugas memberikan nasihat kepada pemerintahan.
Saat itu, dia mengusulkan pembentukan sebuah Bank Sentral atau Bank Sirkulasi seperti yang dimaksud dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Direktur Eksekutif Indonesia Development Research (IDR) Fathorrahman Fadli dalam tulisannya di Antaranews pada 9 November 2024, mengungkapkan bahwa BNI adalah bank pertama yang didirkan Pemerintah Indonesia setelah kemerdekaan.
BNI didirikan untuk memperkuat perekonomian nasional dan mendukung perkembangan usaha serta perdagangan dalam negeri.
Tak hanya mendirikan BNI, Margono adalah salah satu anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Fathorrahman menulis, Margono turut berperan dalam merumuskan dasar negara dan UUD 1945 yang menjadi landasan penting bagi bangsa Indonesia yang merdeka.
Dikutip dari esi.kemendikbud.go.id, Margono juga terlibat aktif saat Indonesia berjuang secara diplomasi untuk mendapat pengakuan kemerdekaan secara de facto dari negara lain.
Margono sebagai pejabat yang mengurusi masalah persedian pangan bagi rakyat Indonesia terlibat dalam upaya diplomas yang dilakukan Perdana Menteri Sjahrir melalui pengiriman beras ke India.
Kemudian, Margono terlibat dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia dengan menyelamatkan aset BNI berupa emas seberat tujuh ton saat Belanda melancarkan Agresi Militer II pada tahun 1948.
Saat itu, Margono berhasil menjual emas ke Macau dan hasil penjualan diperuntukan bagi perjuangan Indonesia, yakni masalah penyediaan bahan pangan, biaya diplomasi, serta persediaan perang melawan Belanda.
Peran Margono masih berlanjut hingga Indonesia mencapai pengakuan secara de facto maupun de jure setelah dilakukannya perundingan Konferensi Meja Bundar (KMB).
Pada tahun 1950, Margono membentuk Yayasan Hatta yang bergerak di bidang ilmu pengetahuan dan pendidikan. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kecerdasan penerus bangsa kedepannya.
Margono Djojohadikusumo meninggal dunia pada tanggal 25 Juli 1978 di Jakarta, dan dimakamkan di pemakaman keluarga di Dawuhan, Banyumas, Jawa Tengah.