Surya Paloh Terkejut Tom Lembong Tersangka: Tak Ada Angin, Tak Ada Hujan
Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh prihatin dengan penetapan tersangka mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong (Tom Lembong) terkait kasus impor gula. Paloh heran karena kasus tersebut sudah dalam jangka waktu yang lama, tapi diungkap kembali secara tiba-tiba.
"Saya pikir bagaimana pun juga tentu itu suasana yang amat memprihatinkan bagi saya sebagai ketum Partai NasDem, kalau kita masih melihat upaya penegakan hukum ini pada sebuah kasus yang jangka waktunya barangkali kita sudah lupa," kata Paloh kepada wartawan di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (1/11/2024).
Paloh mengatakan banyak masalah yang harus diselesaikan. Ia lantas membeberkan banyak kasus yang lebih aktual yang justru lebih prioritas.
"Saya pikir begitu banyak masalah yang harus kita selesaikan. Prioritas utama tentu kita harapkan kasus-kasus yang cukup aktual yang memang perlu kita apresiasi. Seperti katakanlah ada penggerebekan, penemuan sejumlah dana yang cukup besar hampir Rp 1 triliun, ada juga penangkapan daripada dua tiga hakim yang dianggap berkonspirasi meloloskan suatu perkara, saya pikir kita apresiasi itu," ucap Paloh.
"Tapi nggak ada angin, nggak ada hujan tiba-tiba ada Tom Lembong, kita juga terkejut itu," lanjutnya.
Paloh menyinggung mencari masalah lama merupakan bentuk pesimisme. Ia berharap penegak hukum untuk terus membangun optimisme ke depan dengan menyelesaikan masalah yang ada di depan mata.
"Ya bukan hanya itu, kita mau membesarkan hati kita semua, ini pemerintahan kita, kita confidence dong harusnya, membangun confidensi itu penting bukan membangun pesimisme. Kalau cari masalah masa lalu, itu barangkali lebih ke pesimisme bukan optimisme," ujarnya.
Paloh tidak berpandangan adanya sesuatu janggal atas penetapan tersangka Tom Lembong. Ia berharap kasus tersebut bukan politisasi.
"Mudah mudahan tidak ada, kalau ada ya apes aja," imbuhnya.
Kasus dugaan korupsi dalam impor gula pada 2015-2016 ini baru menjerat dua tersangka. Keduanya adalah Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong selaku Menteri Perdagangan 2015-2016 dan Charles Sitorus selaku mantan Direktur Pengembangan Bisnis PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PT PPI)
Dalam kasus ini ada beberapa istilah yang harus dipahami, yaitu gula kristal mentah (GKM), gula kristal rafinasi (GKR), dan gula kristal putih (GKP). Mudahnya, GKM dan GKR adalah gula yang dipakai untuk proses produksi, sedangkan GKP dapat dikonsumsi langsung.
Berdasarkan aturan yang diteken Tom Lembong sendiri saat menjadi Mendag, hanya BUMN yang diizinkan melakukan impor GKP, itu pun harus sesuai kebutuhan dalam negeri yang disepakati dalam rapat koordinasi antarkementerian serta dalam rangka mengendalikan ketersediaan dan kestabilan harga GKP.
Sedangkan dalam perkara ini–pada 2016 Indonesia mengalami kekurangan stok GKP–seharusnya bisa dilakukan impor GKP oleh BUMN. Namun, menurut jaksa, Tom Lembong malah memberikan izin ke perusahaan-perusahaan swasta untuk mengimpor GKM, yang kemudian diolah menjadi GKP.
Jaksa mengatakan Tom Lembong menekan surat penugasan ke PT PPI untuk bekerja sama dengan swasta mengolah GKM impor itu menjadi GKP. Total ada sembilan perusahaan swasta yang disebutkan, yaitu PT PDSU, PT AF, PT AP, PT MT, PT BMM, PT SUJ, PT DSI, PT MSI, dan terakhir PT KTM.
"Atas sepengetahuan dan persetujuan tersangka TTL (Thomas Trikasih Lembong), persetujuan impor GKM ditandatangani untuk sembilan perusahaan swasta. Seharusnya, untuk pemenuhan stok dan stabilisasi harga, yang diimpor adalah GKP secara langsung," kata Abdul Qohar selaku Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus.
Setelah perusahaan swasta itu mengolah GKM menjadi GKP, PT PPI seolah-olah membelinya. Padahal yang terjadi, menurut jaksa, GKP itu dijual langsung oleh perusahaan-perusahaan swasta itu ke masyarakat melalui distributor dengan angka Rp 3.000 lebih tinggi dari harga eceran tertinggi (HET).
"Dari pengadaan dan penjualan GKM yang diolah menjadi GKP, PT PPI mendapatkan fee sebesar Rp 105/kg. Kerugian negara yang timbul akibat perbuatan tersebut senilai kurang lebih Rp 400 miliar, yaitu nilai keuntungan yang diperoleh perusahaan swasta yang seharusnya menjadi milik negara," imbuh Abdul Qohar.