Tak Ada Makan Siang Gratis

Tak Ada Makan Siang Gratis

Pemerintahan Prabowo-Gibran mulai mewujudkan janji kampanye pilpres mereka memberi makan siang gratis. Bisa jadi kampanye ini terinspirasi oleh banyak negara di dunia yang memberikan makan siang gratis khususnya bagi anak sekolah usia SD, SMP, dan SMA. Sumber dari Voice of America, free lunch program ini ditujukan bukan hanya untuk negara yang dianggap miskin seperti Afrika dan India, melainkan negara yang dijuluki negara makmur seperti Amerika dan Eropa.

Apa tujuan makan siang gratis ini? Ada lima tujuan pemberian makan siang gratis ala Prabowo-Gibran (1) Peningkatan gizi anak; (2) Pengurangan kelaparan; (3); Peningkatan konsentrasi dan prestasi akademik; (4) Pengurangan ketidaksamaan; (5) Dukungan bagi keluarga berpenghasilan rendah.

Mencegah Kegendutan

Tujuan tersebut sebelas-dua belas dengan tujuan negara lain seperti Rwanda "to raise awareness of the importance of children getting nutritious food" sampai Swedia "to achieve higher education achievements and have better health conditions." Brasil menetapkan tujuan yang lebih spesifik "to reduce the level of obesity, improve children’s nutrition and education."

Tingkat obesitas anak di Brasil memang tinggi, yaitu tiga kali lipat di atas rata-rata dunia. Di negara sepak bola ini, anak-anak usia 1-5 tahun, 14,2% mengalami obesitas, sementara anak-anak usia 10-18 tahun di negara Neymar ini, 31,2% mengalami kelebihan berat badan, bahkan selama pandemi Covid, tingkat kegemukan di kalangan anak-anak penghasil kopi dunia ini meningkat 6% pada periode 2019-2022. Secara seluruh penduduk Brasil yang mengalami kegemukan lebih dari 50 persen.

Gimik atau Gemati?

Namanya kampanye, ada saja netizen yang mengatakan bahwa program ini hanya gimik saja, apalagi selama ini masyarakat merasa bahwa janji kampanye hanya sekadar janji tanpa kewajiban untuk memenuhinya. Mungkin karena tuntutan ini atau memang ketulusan Prabowo-Gibran, program yang sempat tertunda ini akhirnya direalisasikan.

Bagi masyarakat yang curiga program ini hanya umpan kampanye, coba tengok hasilnya di negara-negara yang sudah menerapkannya. Benarkah ini gimik atau gemati? Apakah program ini hanya alat atau trik untuk menarik pemilih atau benar-benar peduli dan tulus (gemati) bagi kamaslahatan bangsa dan negara? Mari kita telusuri hasilnya di negara-negara yang melakukannya.

Hasilnya sesuai harapan. Penerima program ini di Swedia memiliki kondisi kesehatan yang lebih baik dan pada gilirannya mampu meraih prestasi pendidikan yang lebih tinggi. Di India, program ini mampu memerangi kelaparan, naiknya jumlah pendaftaran dan kehadiran murid di sekolah, serta tentu saja meningkatnya kesehatan masyarakat, khususnya anak usia sekolah.

Apa yang Perlu Kita Kritisi?

Jika program makan siang gratis ini memang bermanfaat bagi keberlanjutan gizi dan naiknya intelektual generasi muda, apa yang perlu kita kritisi? Ada ungkapan yang sangat terkenal untuk menyikapi setiap program baik swasta maupun pemerintah. There ain’t no such thing as a free lunch yang sering disingkat TANSTAAFL. Bahasa resminya there is no such thing as a free lunch (TINSTAAFL). Pendeknya, tidak ada makan siang gratis atau pasti ada udang di balik batu.

Apa harga yang harus dibayar Prabowo-Gibran (baca seluruh rakyat Indonesia) agar program ini tidak hangat-hangat tahi ayam? Di samping pengawasan, kita pun perlu mengevaluasi dan memberi masukan agar bukan hanya menjaga keberlangsungannya, namun juga meningkatkan kualitasnya.

Harga yang harus dibayar pemerintah untuk mewujudkan makan siang gratis ini bukan main-main. Waktu kampanye Prabrowo-Gibran mencanangkan anggaran sampai Rp 460 T. Dalam pembentukan RAPBN 2025, program makan siang gratis dialokasikan mencapai Rp 71 triliun. Kok jauh sekali dibandingkan angka sebelumnya? Ternyata selisih itu karena alokasi dana saja.

Nama program yang sebelumnya Makan Siang Gratis menjadi Makan Bergizi Gratis (MGB). Jumlah cakupan pun tentunya berbeda setelah tim mempelajari secara lebih terperinci. Jadi, yang jauh lebih penting lagi, dari mana dananya? Apakah itu diambil dari kenaikan PPN 12% yang akhirnya direvisi dan hanya ditujukan untuk barang dan jasa premium saja?

Mengutak-atik anggaran negara memang rumit. Jadi, jangan biarkan Sri Mulyani bekerja sendirian. Ketimbang mung cawe-cawe ora melu tandang gawe (hanya ikut campur tanpa ikut bekerja), bukankan lebih baik kita memberikan masukan yang positif? Toh dampaknya untuk kita dan generasi selanjutnya.

Ketika transit di Singapura dalam perjalanan tugas bicara di Sydney, saya membeli buku berjudul The 48 Laws of Powers. Di dalam buku dahsyat ini Robert Green memberikan 48 hukum kekuasaan. Hukum keempat berbunyi Always Say Less Than Necessary. Implikasinya, semakin banyak kita berbicara, semakin besar kemungkinannya untuk membuat blunder. Jadi, lebih baik irit bicara –yang perlu saja– namun memberi dampak yang jauh lebih besar.

Saya teringat apa yang dikatakan Eleanor Roosevelt Great minds discuss ideas; average minds discuss events; small minds discuss people. Jadi, ketimbang mikirin (yang bisa kebablasan jadi nyinyirin) negara, bukankah jauh lebih baik bertanya kepada diri sendiri, "Apa kontribusi saya dalam program MBG ini?

Teriyaki atau Geprek?

Saya setuju bahwa tujuan partai oposisi adalah untuk mengkritisi kebijakan pemerintah agar terjadi keseimbangan, bukan kesewenang-wenangan. "Ben orang karepe dhewe," ujar wong Jowo. Protes tidak hanya bisa dilakukan dengan demo di jalan, melainkan juga lewat wacana akademik yang mencerdaskan nalar.

Silence is the most powerful scream. Bukankah Mahatma Gandhi pun, di dalam kediamannya justru bisa melakukan revolusi? The quieter you become, the more you can hear. Saat kita diam dalam kesunyian, kita justru bisa mendengar nyaringnya suara akar rumput. Bukankah suara rakyat adalah suara Tuhan? Justru di tengah keheningan inilah kita mengizinkan Tuhan yang berbicara. In the silence of the heart, God speaks.

Saat berada di Tokyo, saya bergurau dengan sahabat yang lama tinggal di sana, "Meskipun Jepang begitu maju teknologinya, teknologi audio di Indonesia lebih dahsyat."

"Kok bisa?" sahutnya penasaran.

"Ayam di Jepang harus di-teriyaki, sedangkan di Indonesia perlu di-geprek!"

Jadi, saya usul, ketimbang hanya menu teriyaki di program MBG, tambahkan juga ayam geprek.

Di samping mendengar suara rakyat, kita pun perlu menindaklanjutinya bukan? Ketika bersama rekan-rekan mahasiswa Indonesia yang kuliah di Australia mengadakan program makan siang gratis bersama suku Aborigin, saya bertanya kepada salah satu dari mereka. "Apa sih yang sesungguhnya kalian butuhkan?" Sambil tersenyum hangat, suku asli Australia itu menjawab, "Di musim dingin seperti ini, kami juga butuh selimut!"

Xavier Quentin Pranata kolumnis

Simak Video Program Makanan Bergizi Gratis Dimulai

[Gambas Video 20detik]

Sumber