Tantangan dan Peluang Bisnis Berkelanjutan 2025
Perubahan iklim nyata adanya. Bumi makin panas. Tak heran jika tiap tahun ada Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim yang diadakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (The United Nations Climate Change Conference atau Conference of the Parties/COP). Paling mutakhir, konferensi diadakan di Baku, Azerbaijan, pada 11-22 November 2024. Konferensi ke-29 ini bertema "In Solidarity for a Green World".
Setidaknya dalam dua tahun terakhir, berbagai organisasi pemerhati lingkungan hidup menilai KTT Iklim berakhir mengecewakan. Tahun lalu, COP28 yang berlangsung di Uni Emirat Arab, gagal mengambil keputusan untuk menyelamatkan nasib bumi. COP 29 tak beda jauh. Komitmen pendanaan iklim negara maju tak kunjung terealisasi hingga kesepakatan pasar karbon berpotensi memperparah kondisi Bumi.
Padahal, perusahaan-perusahaan dari negara maju menjadi penyumbang terbesar emisi karbon. Carbon Majors, dalam laporan terbarunya yang memantau emisi 122 produsen minyak, gas, batu bara, dan semen di dunia, menyebut 57 perusahaan swasta dan milik negara secara langsung terkait dengan 80 emisi dunia sejak 2016 hingga 2013. ExxonMobil dari Amerika Serikat menjadi perusahaan penyumbang emisi terbesar yakni 3,6 gigaton karbon dioksida selama tujuh tahun.
Kendati belum menggembirakan, langkah-langkah penyelamatan bumi terus dilakukan berbagai pihak. Langkah tersebut dilakukan dengan kesadaran bahwa sumber daya alam tak terbarukan bakalan habis, dan kehidupan harus terus berlanjut. Sehingga, jargon-jargon seperti pembangunan berkelanjutan, ekonomi hijau, ekonomi sirkuler, atau pun ekonomi biru terus digaungkan.
Pemerintah Indonesia pun tetap terus mendorong perusahaan-perusahaan menjalankan bisnisnya dengan pendekatan tiga aspek utama yakni economic, social, and governance (ESG). Pemerintah juga berusaha memberikan contoh. Misalnya, dalam hal pengembangan pembiayaan, pemerintah menerbitkan portofolio kredit hijau, dan instrumen keuangan berbasis lingkungan.
Hingga Oktober 2024, Kementerian Koordinator Perekonomian mencatat, penerbitan obligasi dan sukuk hijau sudah mencapai Rp36,4 triliun yang meliputi 21 penerbitan Green Bond, Social Bond, Social Sukuk, Sustainability Link Bond dan Sustainability Sukuk.
Selain instrumen pembiayaan, berapa kebijakan pemerintah menunjukkan komitmen terhadap transisi energi, maupun mewujudkan energi bersih. Misalnya, kebijakan mandatori biofuel B35 akan ditingkatkan sampai dengan B40. Biofuel berpotensi menurunkan emisi CO2 hingga 8 persen, dibandingkan bahan bakar tradisional.
Dorongan pemerintah terhadap perusahaan-perusahaan agar memilih skema ESG, sejalan dengan laporan Pricewaterhous Coopers (PwC) 2022. Laporan ini menyebutkan, investasi ESG telah menghasilkan pengembalian yang lebih tinggi dibandingkan investasi non-ESG yang setara.
Dengan prospek imbal hasil yang lebih tinggi, para investor yang disurvei PwC, sebanyak tiga perempat (78%) menyatakan bersedia membayar biaya yang lebih tinggi untuk lembaga pengelola investasi ESG. Setengah dari investor yang disurvei (52%) bersedia memasukkan ESG ke dalam biaya terkait kinerja - dua pertiga di antaranya bersedia membayar premi ESG sebesar 3-5%.
PwC memprediksi aset kelolaan (Assets under Management/AuM) terkait ESG yang ditangani para aset manajer secara global, naik menjadi US$33,9 triliun pada 2026, dari US$18,4 triliun pada 2021.
Laporan tersebut menunjukkan bahwa menjalankan bisnis dengan melaksanakan skema ESG, dengan kata lain melakukan bisnis yang berkelanjutan, ternyata prospektif, dan tetap layak menjadi pertimbangan pada 2025. Markplus Institute, sebuah lembaga pemasaran, pada 2023 mengungkapkan, karyawan lebih berfokus pada perusahaan yang memiliki misi dan tujuan untuk peduli pada keberlangsungan bumi.
Kemudian, sebesar 71% karyawan dan pencari kerja menyatakan perusahaan yang ramah lingkungan adalah perusahaan yang lebih menarik. Lalu, sebanyak 80% konsumen bersedia membayar lebih untuk produk yang bernilai ramah lingkungan. Negara dengan ekonomi tinggi pun mulai mengembangkan berbagai persyaratan bagi perusahaan terkait dampak lingkungan dan penurunan emisi gas rumah kaca.
Di banding bisnis konvensional, tentu saja menjalankan bisnis dengan ESG punya tantangan lebih kompleks. Hanya saja perlu diingat, tantangan tersebut sekaligus menjadi peluang.
Beberapa di antara tantangan dan peluang, pertama, perlu adanya perubahan paradigma dalam mengoperasikan cara berbisnis. Model bisnis tradisional yang berfokus pada produksi dan penjualan besar-besaran perlu ditinggalkan. Bisnis berkelanjutan menuntut dijalankannya model yang lebih menekankan pemulihan dan daur ulang sumber daya.
Kedua, praktik-praktik berkelanjutan membutuhkan investasi awal yang cukup tinggi. Bagi perusahaan yang menjalankan bisnis di lingkungan kompetitif dengan margin keuntungan yang tipis, tentu ini tantangan besar.
Ketiga, praktik-praktik berkelanjutan boleh dikatakan masih tergolong baru, sehingga butuh adopsi keterampilan dan pengetahuan. Sehingga, perusahaan butuh memberikan pelatihan dan pendidikan yang intensif untuk memastikan SDM perusahaan memiliki pemahaman yang cukup tentang konsep ini, dan cara menerapkannya dalam praktik sehari-hari.
Keempat, masih banyak bisnis masih bergantung pada sumber daya alam dan teknologi konvensional, yang tidak ramah lingkungan. Sehingga, perlu solusi yang lebih berkelanjutan dan efisien dalam penggunaan sumber daya tersebut.
Keenam, sejauh ini pemerintah telah berupaya mengadopsi regulasi dan kebijakan mendukung praktik-praktik berkelanjutan. Beberapa di antaranya adalah Peraturan OJK No 51 tahun 2017 tentang Penerapan keuangan Berkelanjutan Bagi Lembaga Jasa Keuangan, Emiten dan Perusahaan Publik . Peraturan ini mendorong terbentuknya sistem jasa keuangan yang kontributif dan inklusif, dalam penyediaan pendanaan pembangunan berkelanjutan. Misalnya pendanaan untuk energi terbarukan, ekoturisme, atau industri daur ulang.
Negara pun telah berupaya melindungi lingkungan hidup antara lain dengan adanya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal 42 ayat (1) UU ini berbunyi "Untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup, pemerintah pusat dan pemerintah daerah wajib mengembangkan serta menerapkan instrumen ekonomi lingkungan hidup".
Tantangannya adalah menerapkan regulasi, kebijakan, dan peraturan perundang-undangan secara konsisten. Konsistensi ini sangat diperlukan oleh para pelaku bisnis yang menjalankan ekonomi berkelanjutan. Kerja sama antara pemerintah, pelaku bisnis dan masyarakat diperlukan agar bisnis yang berkelanjutan dapat terlaksana dengan baik.
Ahmad Thonthowi Djauhari Senior Consultant Arkana Beyond