Tantangan Kelembagaan Kabinet Prabowo

Tantangan Kelembagaan Kabinet Prabowo

RIBUT-ribut dan spekulasi berkenaan kabinet pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka berakhir sudah, setelah Prabowo mengumumkan susunan Kabinet Merah Putih (KMP) di hari yang sama dengan pelantikannya sebagai Presiden.

Pengambilan sumpah para pembantunya dilakukan pada keesokan harinya.

Yang menarik, tidak saja Prabowo melantik para menteri dan wakil menteri sedemikian banyaknya. Ia turut mengangkat jajaran kepala badan, penasihat khusus, utusan khusus, dan staf khusus presiden.

Dengan total ratusan orang, niscaya bukan hal mudah bagi Prabowo dalam menavigasi kabinetnya selama lima tahun ke depan.

Dengan cepat KMP menangguk julukan sebagai ‘kabinet 100 menteri’, julukan yang sama diberikan kepada kabinet Dwikora di penghujung kepemimpinan Presiden Sukarno.

Tak pelak perkara “power sharing” dituding menjadi penyebab membengkaknya jumlah menteri dalam KMP, setelah sebelumnya mendapat landasan berupa perubahan UU No. 39/2008 tentang Kementerian Negara yang mulus direvisi di Dewan Perwakilan Rakyat.

Dapat dipahami bahwa akomodasi dukungan—juga tekanan—politik yang berada di belakang Prabowo-Gibran urgen dilakukan guna menjaga stabilitas berjalannya pemerintahan.

Prabowo pun mengamininya dengan menyatakan bahwa postur kabinet raksasa dibutuhkan untuk mengakomodasi berbagai kelompok dan kepentingan.

Potret KMP saat ini menjadi ejawantah sempurna dari adagium yang disampaikan tokoh pembangunan Bangladesh, Sir Fazle Abed, yang seakan merevisi ungkapan yang disampaikan ekonom E.F. Schumacher sebelumnya “Small is beautiful, but big is necessary”. Kecil memang indah, namun menjadi besar kadang ‘diperlukan’.

Salah satu dari sedemikian banyak hal baru dari KMP adalah pemecahan kementerian yang sebelumnya mengampu sejumlah urusan menjadi beberapa kementerian tersendiri, seperti Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang dipecah menjadi tiga Kementerian.

Ada pula yang naik kelas dari semula lembaga pemerintah non kementerian (LPNK) menjadi kementerian, seperti Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/BKKBN dan Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia/BP2MI.

Namun, yang paling menarik dari semuanya adalah terbentuknya lembaga-lembaga baru yang agaknya memiliki potensi gesekan kewenangan dengan beberapa lembaga eksisting.

Sebut saja, misalnya, Badan Percepatan Pengentasan Kemiskinan (BP2K) yang dibentuk melalui Perpres No. 163/2024.

Pada bagian Ketentuan Peralihan, disebutkan bahwa badan ini merupakan transformasi dari Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) yang selama ini menginduk di bawah Sekretariat Wakil Presiden, Kementerian Sekretariat Negara.

Dalam beleid tersebut, dijelaskan bahwa selain kepala dan wakil kepala, BP2K akan dilengkapi dengan jajaran deputi dan tenaga profesional pada berbagai jenjang, serupa seperti model kelembagaan Kantor Staf Presiden pada periode pemerintahan sebelumnya.

Namun, jika dibandingkan dengan kelembagaan TNP2K sebagai wadah koordinasi lintas intansi, BP2K menjadi berbeda karena menghadirkan jabatan-jabatan baru dengan berbagai konsekuensi kelembagaan dan anggaran yang menyertainya.

Belum lagi dengan dinamika penyiapan dan transisi kelembagaan yang akan memakan waktu dan sumber daya tak sedikit, di tengah tugas pengentasan kemiskinan yang sesungguhnya membutuhkan fokus luar biasa.

Pelaksanaan tugas dan fungsi BP2K kelak akan amat bersinggungan dengan Kementerian Sosial sebagai "leading sector" pengentasan kemiskinan, di samping juga berbagai kementerian dan lembaga terkait yang turut merencanakan, menyusun, dan menyelenggarakan program-program pengentasan kemiskinan.

Hal serupa terjadi pada Badan Pengendalian Pembangunan dan Investigasi Khusus (BPPIK) yang dibentuk melalui Perpres No. 159/2024.

Melihat nomenklaturnya, orang akan mudah mengasosiasikannya dengan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang telah lama eksis.

Asosiasi tersebut tidaklah salah karena kedua lembaga tersebut sesungguhnya bekerja pada area yang sama pengawasan dan pengendalian pembangunan.

Dalam berbagai pemberitaan, pembentukan BPPIK nampaknya diarahkan pada tujuan yang lebih strategis, yakni mencegah penyelewengan dan pelanggaran proyek lebih dini di lingkaran pertama Presiden, bahkan sebelum terendus lembaga-lembaga pengawasan internal pemerintahan lainnya.

Eksistensi Sekretariat Pengendalian Operasional Pembangunan (Sesdalopbang) di masa Orde Baru acap menjadi pembanding keberadaan BPPIK.

Di masa lalu, peran Sesdalopbang sangat strategis karena menjadi mata dan telinga presiden dalam mengendalikan pembangunan, bahkan ruang kerja Sesdalopbang berada di samping ruang kerja Presiden Suharto di Bina Graha.

Namun jika mengikuti logika tersebut, tanpa diikuti dengan garis batas kewenangan dan tata koordinasi yang jelas, rentan terjadi ‘saling injak kaki’ antarlembaga pengawasan internal.

Dalam upaya pemberantasan korupsi oleh para aparat penegak hukum, misalnya, saling berebut kewenangan sudah menjadi berita lawas yang sayangnya masih kerap terjadi hingga saat ini, baik di tingkat pusat maupun daerah.

Oleh karenanya, kejelasan kewenangan tiap lembaga disertai dengan tata kerja dan koordinasi yang melembaga serta berkelanjutan amat dibutuhkan untuk menggerakan kabinet besar ini menggapai tujuannya.

Sudah hampir satu bulan usia KMP, masih banyak tugas-tugas penataan kelembagaan pemerintah pusat yang menggelayut, yang kini berkejaran dengan berbagai permasalahan pembangunan yang menumpuk dan kian bertambah.

Jangan sampai urusan penataan kelembagaan yang awalnya dilakukan dengan niat mengakselerasi gerak pembangunan, justru menghalangi pemerintah untuk berlari cepat.

Sumber