Tekad Kuat Yuli Anak Pengepul Barang Rongsok, Lulus dari Trisakti Lewat Beasiswa

Tekad Kuat Yuli Anak Pengepul Barang Rongsok, Lulus dari Trisakti Lewat Beasiswa

JAKARTA, KOMPAS.com - Di tengah situasi ekonomi yang terhimpit, pendidikan sering kali menjadi prioritas terakhir setelah kebutuhan perut terpenuhi.

Meskipun demikian, pendidikan tetap menjadi satu-satunya jalan terang di balik gelapnya lorong panjang kemiskinan.

Hal inilah yang disadari oleh Yulinda Putri, seorang perempuan berusia 22 tahun yang lahir dari keluarga pengepul barang rongsok di Ciomas, Kabupaten Bogor.

Yulinda, akrab disapa Yuli, tidak pernah merasa putus asa atau menyalahkan keadaan ekonomi keluarganya.

Ia merupakan hasil didikan orang tua yang berusaha keras untuk mengangkat keluarganya keluar dari belenggu kemiskinan.

Yuli adalah lulusan dari Trisakti, dan perjuangannya untuk meraih gelar di kampus terkemuka itu memikat banyak perhatian.

Foto kelulusan Yuli sempat viral di media sosial. Di foto itu, dia tersenyum lebar bersama anggota keluarganya sambil mengenakan toga dan plakat wisuda. Yuli dan keluarga berpose di sebuah gerobak yang ditarik oleh ayah Yuli.  

Awalnya, Yuli berpikir untuk melanjutkan pekerjaannya di sebuah restoran ayam goreng di dekat rumahnya demi membantu perekonomian keluarga.

Namun, ada satu pengalaman yang membuatnya merasa perlu untuk mengejar pendidikan yang lebih tinggi.

"Karena di pekerjaan ada sesuatu hal gitu yang bikin kayak ‘oh harus lebih dari ini’ gitu. Makanya yaudah menetapkan hati untuk berani cari beasiswa gitu," ungkap Yuli saat ditemui di Senayan, Minggu (15/12/2024).

Meskipun berhasil mendapatkan beasiswa, Yuli tetap mengambil pekerjaan sambilan untuk membantu biaya hidupnya.

Dengan uang sebesar Rp 8,4 juta setiap semester, ia harus pandai-pandai mengelola keuangannya agar cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

"Kan itu dicukup-cukupin, makanya uangnya itu nggak pernah dipakai buat apa pun. Misalkan yang bulan ini masih ada sisanya nih, jadi bener-bener d-manage supaya bisa sampai dapat lagi, itu diakumulasiinnya gitu," jelasnya.

Namun, terkadang biaya kuliah yang cukup tinggi memaksa Yuli untuk mencari penghasilan tambahan.

Ia memanfaatkan waktu luangnya di antara jadwal kuliah untuk menjajakan jasanya.

"Kalaupun memang habis, paling nanya-nanya sih kayak, kan ada kafe dekat rumah juga gitu, pernah part-time juga gitu, Sabtu Minggu. Cukup sering juga sih, pokoknya setiap ada yang nawarin, dan aku lagi enggak kuliah, aku ambil di hari apapun itu gitu," tambahnya.

Keputusan Yuli untuk melanjutkan kuliah sempat mengejutkan kedua orang tuanya.

Mereka meminta Yuli berpikir dua kali karena masih ada empat adik yang harus dihidupi.

Namun, Yuli tidak mengubah niatnya.

Dia berkomitmen untuk mengejar cita-citanya melalui beasiswa, dan beruntungnya, ia berhasil mendapatkannya.

Yuli rutin berangkat dari Ciomas ke Kampus Trisakti di Jakarta Timur menggunakan KRL, tanpa menyewa kos demi menghemat biaya hidup.

Meskipun begitu, perjalanan yang ia lakukan tidak selalu mulus.

Ia sering mendapatkan skeptisisme dari orang-orang di sekitarnya, yang meragukan kemampuannya untuk berkuliah.

"Itu (diragukan) enggak cuma satu orang gitu. Hampir selentingannya kedenger terus," ujarnya.

Keluarga Yuli pun mengalami stigma negatif ketika orang-orang meragukan keputusan ayahnya untuk mengizinkannya berkuliah.

Bahkan, ayah dan adiknya yang bekerja untuk menghidupi keluarga sempat dituduh mencuri.

"Sampai ayah tuh bener-bener dijatuhkan banget gitu karena ayah kan memang ngambilin barang-barang gitu sampai dituduh mencuri. Adikku juga kerja sampai diberhentikkan kerja karena dituduh mencuri itu sampai surat polisi pun dipanggil," ceritanya dengan nada sedih.

Beruntung, Yuli berkuliah di kampus yang mendukungnya.

Dosen dan teman-temannya memberikan dukungan penuh dalam usahanya untuk mendapatkan gelar D3 Transportasi dan Logistik.

Kini, setelah lulus, Yuli telah berhasil mendapatkan pekerjaan yang lebih baik di sebuah perusahaan permodalan.

Perjuangan Yuli untuk keluar dari lorong gelap kemiskinan kini menunjukkan hasil.

Dia mulai mengajak adik-adiknya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

"Setidaknya, pikiran mereka akan terbuka jika mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi," kata Yuli.

Dengan tekad dan kerja keras, Yuli telah menunjukkan bahwa pendidikan adalah kunci untuk mengubah nasib, meski harus melawan stigma dan tantangan yang datang.

Sumber