Terpidana Korupsi Minta MK Hapus Pasal Rugikan Negara dan Perkaya Diri

Terpidana Korupsi Minta MK Hapus Pasal Rugikan Negara dan Perkaya Diri

Mantan Direktur Utama Perum Perikanan Indonesia Syahril Japarin, mantan pegawai PT Chevron Pacific Indonesia Kukuh Kertasafari, serta mantan Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam menggugat Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Mereka meminta Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus pasal yang mengatur hukuman bagi pihak yang memperkaya diri dan menyebabkan kerugian negara.

Gugatan tersebut teregistrasi dengan nomor perkara Perkara Nomor 142/PUU-XXII/2024. Terbaru, MK telah menggelar sidang perbaikan permohonan di gedung MK pada Senin (28/10/2024).

Dalam permohonannya, sebagaimana dilihat di situs MK, para pemohon mempermasalahkan muatan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Para pemohon menyebut mereka dijatuhi hukuman penjara sebagaimana diatur dalam pasal-pasal yang digugat itu.

Syahril menyatakan telah didakwa melakukan korupsi dalam pengelolaan keuangan Perum Perindo. Syahril dijatuhi hukuman 10 tahun penjara dan denda Rp 500 juta di tingkat kasasi pada 2023 karena dinyatakan terbukti melakukan korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Berikutnya, Kukuh menyatakan sempat dijatuhi hukuman penjara karena dinyatakan terbukti melakukan korupsi terkait pengelolaan limbah B3 dalam proses pertambangan minyak dan gas. Hakim pada pengadilan negeri hingga tingkat kasasi menyatakan Kukuh bersalah melanggar Pasal 3 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Namun Kukuh menyatakan divonis bebas berdasarkan putusan peninjauan kembali (PK).

Berikutnya, Nur Alam juga dijatuhi hukuman penjara karena terbukti melakukan korupsi terkait izin tambang di Sultra. Nur Alam menyebut dirinya dihukum berdasarkan Pasal 12B UU Tipikor (gratifikasi) dan dibebaskan dari dakwaan Pasal 2 atau 3 yang didakwakan jaksa pada tingkat kasasi. Nur Alam telah bebas dari penjara.

Pemohon, lewat kuasa hukumnya, menyebut perbuatan koruptif tak boleh dilihat dari apakah negara rugi atau tidak. Pemohon mengatakan pemberantasan korupsi harus lebih banyak diarahkan pada pemberantasan suap, penggelapan dalam jabatan, hingga gratifikasi.

"Kami memandang bahwa suatu perbuatan itu sifatnya koruptif bukan saja kalau kita lihat apakah negara ini dirugikan atau tidak, tapi kita lihat sendiri perbuatan tersebut dilakukan untuk apa? Untuk mendapatkan keuntungan, kekayaan, dilakukan dengan cara-cara yang tidak sah, ilegal, atau dengan menyalahkan kewenangan yang ada pada diri seseorang. Inilah yang menurut kami seharusnya dipandang sebagai perbuatan koruptif dan itulah yang perlu diberantas," ujar kuasa hukum pemohon, Annisa EF Ismail, seperti dikutip dari risalah sidang MK.

"Bukan berarti kerugian itu bukan hal yang tidak penting. Namun, kalau kita bisa memberikan persepsi sedikit berbeda, kerugian ini adalah akibat dari perbuatan curang. Perbuatan yang dilakukan untuk mendapatkan keuntungan secara tidak halal. Pemberantasan korupsi seharusnya lebih banyak diarahkan ke pemberantasan suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, dan juga penerimaan gratifikasi," sambungnya.

Berikut petitum lengkap pemohon yang dibacakan dalam persidangan

  1. Mengabulkan Permohonan Para Pemohon untuk seluruhnya.

  2. Menyatakan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Nomor 140 Tahun 1999, dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 3874) juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 134, dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4150 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

  3. Memerintahkan pemuatan putusan perkara ini dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya, dan/atau menjatuhkan putusan alternatif, yaitu

  4. Mengabulkan Permohonan Para Pemohon untuk seluruhnya.

  5. Menyatakan frasa memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Lembaran Negara Nomor 140 Tahun 1999, dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 3874 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 134, dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4150) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi sebagai akibat dari atau dalam kaitannya dengan suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan dan penerimaan gratifikasi sebagaimana dinyatakan dalam UU Tipikor, atau memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi sebagai akibat dari atau dalam kaitannya dengan penyuapan, atau memperkaya diri secara langsung atau tidak langsung dan orang lain atau suatu korporasi’.

  6. Menyatakan frasa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi dalam Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Nomor 140 Tahun 1999 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 3874) juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 134 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4150) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1045[sic!] dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘dengan tujuan menguntungkan diri sendiri, atau orang lain, atau suatu korporasi sebagai akibat dari atau dalam kaitannya dengan suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan dan penerimaan gratifikasi sebagaimana dinyatakan dalam UU Tipikor atau dengan tujuan menguntungkan diri sendiri, atau orang lain, atau suatu korporasi sebagai akibat dari atau dalam kaitannya dengan penyuapan atau dengan tujuan menguntungkan diri sendiri secara langsung atau tidak langsung, dan orang lain, atau suatu korporasi’.

  7. Menyatakan frasa yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Nomor 140 Tahun 1999 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 3874) juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 134 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4150) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

  8. Memerintahkan pemuatan putusan perkara ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.

Atau apabila Mahkamah berpendapat lain, mohon putusan seadil-adilnya (ex aequo et bono).

Simak Juga Harvey Moeis Didakwa Rugikan Negara Rp 300 T di Kasus Korupsi Timah-TPPU

[Gambas Video 20detik]

Sumber