Tetangga Masa Gitu...
JAKARTA, KOMPAS.com - Memiliki hubungan baik dengan tetangga seharusnya menjadi sesuatu yang dijalin oleh seluruh masyarakat.
Namun, hal yang sebaliknya justru terjadi. Tak sedikit orang malah memiliki konflik dengan tetangga mereka, seperti yang baru-baru terjadi di daerah Jatimulya, Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi.
Salah satu warga di daerah tersebut, Nani (50) cekcok dengan tetangganya, BS, gara-gara suara musik yang keras. Cekcok terjadi lantaran BS sering menyetel musik dan berkaraoke di tempat gym miliknya yang berada di daerah permukiman dengan volume terlalu tinggi hingga mengganggu para tetangga.
BS disebut hampir setiap hari menyetel musik dengan volume keras dari sore hingga sekitar pukul 22.00 WIB. Setelah tempat gym tutup, sang pemilik kerap lanjut berkaraoke dengan rekan-rekannya pada tengah malam hingga membuat para tetangga terganggu.
"Kencang banget, kan saya depan-depanan (rumahnya). Kadang-kadang sampai jam 03.00 WIB," kata Nani saat ditemui di kediamannya, Kamis (5/12/2024).
Nani menuturkan, waktu BS berkaraoke tak menentu, terkadang dua minggu sekali hingga tiga minggu sekali. Namun, keluarga Nani dan para tetangga setiap hari terganggu dengan suara musik yang keras selama tempat gym milik BS beroperasi.
Bahkan, saking kencangnya suara musik yang diputar, ini membuat kaca jendela rumah Nani bergetar dan nyaris pecah.
"Kalau kemarin-kemarin sampai (jalan), itu kaca saya sampai getar," kata Nani.
Nani mengaku dirinya dan ketua RT setempat telah menegur BS berulang kali, tetapi tetap tak dihiraukan oleh yang bersangkutan.
"Kalau sama penjaga dulu sering. Kalau Pak BS, suami saya negur, ’tolong jangan berisik’, tapi kayaknya dia (BS) marah," ujar Nani.
Tak tahan terus terganggu, Nani akhirnya melaporkan kelakuan BS ke Satpol PP Kabupaten Bekasi. Tak lama kemudian, petugas Satpol PP mendatangi rumah BS yang berada tepat di depan kediaman keluarga Nani pada Selasa (3/12/2024) siang.
Namun, petugas tak bertemu BS karena yang bersangkutan tengah bekerja. Pada malam harinya, BS cekcok dengan keluarga Nani setelah ia mengetahui kedatangan petugas Satpol PP ke rumahnya karena laporan Nani.
Pada saat percekcokan terjadi, salah satu anggota keluarga Nani merekam video yang menunjukkan BS marah-marah. Video itu kemudian jadi perbincangan publik setelah viral di media sosial.
Setelah video rekaman keluarga Nani viral, petugas Bhabinkamtibmas, Babinsa, serta ketua RT dan ketua RW setempat langsung menggelar mediasi pertama di kediaman Nani pada Kamis siang. Mediasi turut dihadiri anak BS berinisial B.
Ketua RW 06 Kelurahan Jatimulya, Imron Rosadi (40) mengatakan, mediasi pertama memutuskan akan ada pertemuan lanjutan untuk mengakhiri permasalahan kedua pihak.
"Kalau keputusan waktu tunggu perwakilan tadi yang menyanggupi dan saya berharap lebih cepat lebih baik karena khawatir nanti ada sesuatu hal yang tidak diinginkan," kata Rosadi.
Sosiolog Universitas Indonesia Ida Ruwaida menilai, cekcok antara keluarga Nani dengan BS lantaran permasalahan menyetel musik yang keras terjadi karena adanya sikap impersonal.
"Salah satu ciri pola relasi sosial di perkotaan adalah cenderung impersonal atau bahkan disebut juga dengan interaksi sambil lalu, karena cenderung tidak terbangun ikatan emosional dan sosial antarwarga," jelas Nani kepada Kompas.com, Kamis (5/12/2024).
Ida mengatakan, ada area-area yang dimungkinkan terbangunnya jarak pribadi antarwarga atau tetangga.
Hal ini biasanya terjadi di wilayah-wilayah yang latar warganya dari daerah yang sama, atau masih ada ikatan persaudaraan, baik karena keturunan dan atau perkawinan.
"Artinya, semakin beragam latar warga di suatu pemukiman, maka semakin tidak mudah membangun kebersamaan, apalagi keguyuban. Utamanya jika warganya lebih dominan penduduk tidak tetap dan bermobilitas tinggi (kontrak/kos/sewa, dan lain-lain), serta kepadatan penduduk tinggi," jelas Ida.
Ida menjelaskan, kasus cekcok antarwarga atau tetangga yang terjadi di suatu lingkungan perlu dicermati berdasarkan karakteristik warga dan pemukimannya.
"Pada area pemukiman yang belum berhasil membangun adanya kepentingan bersama, apalagi belum ada nilai yang dirujuk bersama dan mengikat sebagian besar warga, serta tidak ada atau minim kegiatan bersama yang melibatkan warga dengan beragam latar, maka pemukiman tersebut bisa dikatakan hanya sekedar kumpulan warga, belum menjadi komunitas yang punya toleransi dan solidaritas kuat," jelas Ida.
Ida menekankan, tantangan di era digital saat ini adalah kebutuhan melakukan interaksi tatap muka yang menjadi semakin melemah sehingga minat masyarakat untuk bertemu dengan orang yang tinggal di sekitarnya menjadi hilang.
Ida menilai toleransi aktif perlu didorong untuk menghidupkan kembali komunikasi antarwarga, di antaranya membangun solidaritas atau keterikatan antar warga, bahkan menjembatani antar kelompok warga melalui berbagai pemenuhan kebutuhan bersama.
"Keberadaan RT/RW, dan atau berbagai infrastruktur sosial lainnya (kelompok keagamaan, PKK, dan lainnya) selayaknya mampu menstimulasi aktivitas kewargaan, termasuk forum warga," kata Ida.
"Negara diharapkan lebih berperan memberikan atau menstimulasi aktivisme warga atau kewargaan, dengan memberdayakan infrastruktur sosial yang ada sehingga mampu menguatkan bonding antar warga dan bridging antar kelompok warga," imbuhnya.
Demi kehidupan yang tenang dan damai di zaman yang serba sulit ini, semestinya dibutuhkan pola hubungan yang positif di antara orang-orang yang hidup berdekatan.
Karena itu, menghidupkan kembali sikap tenggang rasa dalam bertetangga menjadi penting agar tidak dicap "tetangga masa gitu".