Tiga Generasi Rawon Nguling Jaga Rasa, Andalkan Bumbu dari Petani Tengger

Tiga Generasi Rawon Nguling Jaga Rasa, Andalkan Bumbu dari Petani Tengger

PASURUAN, KOMPAS.com - Pada Senin (13/1/2025) siang itu, teras dapur belakang Rumah Makan Rawon Nguling tampak sibuk. Karyawannya hilir mudik. 

Ada yang sibuk mengupas bahan makanan, ada yang membersihkan bumbu "pepek".

Pemilik rawon itu, Rofiq Ali Pribadi (54) sesekali mengecek kluwek yang hendak dipakainya  sebagai bumbu dasar kuah rawon miliknya.

Di sisi lain, karyawan rumah makan itu, Juwariyah (42) tampak memegang sutil berbahan kayu untuk menumis bumbu rawon siap masak.

"Iya, hampir setiap hari kita aktivitas seperti ini, meracik, nggongso (menumis), dan masak rawon atau menu lainnya," ujar Rofi, sambil mengupas kluwek.

Di sisi ruang lain, sejumlah karyawan juga sibuk menyiapkan menu masakan lainnya, mulai dari sop iga, tempe, telur asin, dan pekedel.

Sembari memisahkan isi dan kulit kluwek, Rofiq yang dibantu istrinya, Ratnawati, bercerita bahwa Rawon Nguling saat ini sudah memasuki generasi ketiga.

Awal berdiri, warung ini dikenalkan oleh kakek nenek dari istrinya, yakni Mbah Karyorejo dan Marni pada tahun 1940.

Saat itu, warung tersebut hanya berupa warung semipermanen yang terbuat dari kayu dan bambu.

Seiring berjalannya waktu, warung Mbah Karyo yang berjualan nasi rawon semakin dikenal.

"Selanjutnya, warung diteruskan oleh mertua saya, Bapak Dahlan dan Umi Fatimah Dahlan. Kemudian, sedikit demi sedikit, warung Nguling terus memperbaiki bangunan dan memperluas area rumah makan," ucapnya. 

Soal masakan Rawon Nguling, Rofiq bersama istrinya tetap memakai bumbu khas yang dipesan oleh kakeknya, yakni semuanya dari petani suku Tengger Bromo.

Mulai dari bawang prei, bawang daun, kencur, jahe, kunir, dan kluwek.

"Karena pesan dari Mbah, semua bumbu harus dari petani di kawasan Tengger Bromo. Termasuk kluwek ini juga dari Lumajang," katanya.

Sesekali tampak Ratnawati, istri Rofiq, juga mengiris daging yang akan dipotong kecil-kecil untuk dimasukkan ke dalam panci besar kuah rawon.

Aroma daging yang sudah masak pun terasa di sudut ruangan kanan dapur belakang.

Sementara itu, di sisi kiri belakang bagian dapur juga terlihat kepulan asap dari tungku kayu yang masih menyala.

Juwariyah, juru masak bumbu Rawon Nguling terus mengayuh adonan bumbu rawon.

Tak tanggung-tanggung, sekali nggongso (proses tumis), bumbu rawon yang siap masak itu harus memakan waktu 5 hingga 6 jam dengan berat 20 kilogram.

"Nah, selain bumbu dari Tengger, proses masak menggunakan tungku kayu ini juga pesan dari Mbah Karyo agar tidak meninggalkan cara tradisional, karena rasa kluwek dan racikan bumbu pepek tetap terjaga," ucapnya.

Sementara itu, perjalanan panjang untuk mempertahankan usaha Rawon Nguling tidak semulus yang dibayangkan.

Sejak beroperasinya Jalan Tol Pasuruan-Probolinggo, pelanggan Rawon Nguling yang berlokasi di Jalan Raya Tambakrejo Nomor 75 Kecamatan Tongas Probolinggo itu berkurang.

Sebab, penikmat rawon yang sebagian besar dari luar kota sudah mulai malas keluar dari tol.

"Saat ini, kami keluarga besar akhirnya membuka 8 cabang agar usaha Rawon Nguling tetap bisa dijangkau dan dinikmati para pencinta kuliner," ujarnya.

Delapan cabang Rawon Nguling dapat dijumpai di Surabaya, Sidoarjo, Malang, hingga Jakarta.

Tidak hanya itu, Rawon Nguling bisa dinikmati di rest area Tol Surabaya-Gempol dan Surabaya-Mojokerto.

"Untuk semua cabang itu dikelola oleh seluruh keluarga besar kami. Sejak ada Tol Pasuruan-Gempol, Rawon Nguling yang ada di sini sempat sepi, tapi kami optimis rawon tetap menjadi andalan masakan nusantara yang tetap dicintai," ucapnya dengan senyum.

Ucapan Rofiq memang bukan sekadar omong kosong.

Di belakang petugas kasir juga terdapat sertifikat dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang menunjuk Rawon Nguling sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia Tahun 2018 dengan tanda tangan Muhadjir Efendy.

Bahkan, pada tahun 2023 lalu, dari kementerian yang sama juga melakukan pengecekan kembali bumbu yang digunakan Rawon Nguling untuk memastikan bahwa mereka menggunakan bumbu-bumbu asli Indonesia.

Ubaidillah, salah satu penikmat Rawon Nguling, mengaku sangat menikmatinya. 

Selain sudah menjadi ciri khas rawon nusantara, kuahnya dikenal lebih pekat dan rasa bumbu kluwek serta rasa manis gurih sangat terasa.

"Potongan daging kecil-kecil di kuah rawon itu enak. Apalagi disantap saat kuahnya sedikit panas," ujarnya.

Mewabahnya virus penyakit mulut dan kuku pada sapi dalam dua tahun terakhir ini juga menjadi perhatian khusus bagi pemilik Rawon Nguling.

Namun, Rofiq memastikan, semua daging sapi yang dimasak berasal dari sapi pilihan.

Dalam sehari, Rawon Nguling menghabiskan 100 kilogram hingga 150 kilogram daging. 

"Untuk urusan daging, Pak Haji sangat ketat. Kalau dagingnya jelek pasti dikembalikan dan tidak mau," ucap Samsul, salah satu karyawan Rawon Nguling.

Untuk harga Rawon Nguling, satu porsi sebesar Rp 32.000 berisi nasi rawon irisan daging.

Jika kuah rawon terpisah dari nasi, harganya Rp 43.000. Kuah rawon dapat disajikan dengan tempe goreng, telur asin, sate telur puyuh, dan perkedel.

Untuk jadwal buka, Rawon Nguling dibuka mulai pukul 05.00 WIB-21.00 WIB.

Sumber