Titik Kumpul Kian Mendesak
PERTENGAHAN Desember 2024, sebuah pesan WhatsApp masuk. Pesannya demikian “Pak, hari ini saya naik ojek di Sudirman pukul 17.00-an. Pas bubaran kantor. Saya melihat anak-anak muda sepantaran anak-anak kita menyemut di trotoar. Dengan penuh energi mereka menggendong ransel/menenteng tas kerja berjalan ke halte Transjakarta/Stasiun MRT. Saya pandangi wajah mereka, ada yang nampaknya rindu rumah. Pucat kelelahan. Hepi karena jalan berombongan sudah punya schedule kerjaan lain jadi cepat-cepat jalannya tak peduli dg keadaan sekelilingnya….”
“…Lalu saya ingat diskusi dialog kita Kamis lalu. Perlunya titik kumpul untuk membahas negeri ini. Tiba-tiba tak terasa mata saya menghangat dan basah. Rasanya kasihan banget sama orang-orang muda tersebut. Mereka itu capek kerja seharian, punya harapan besar akan masa depan karier, keluarga, bayar pajak, namun tak mendapat pelayan maksimal karena korupsi, kolusi dan nepotisme yang mulai kronis….”
Pesan itu dikirimkan oleh sahabat saya. Ia seorang novelis. Mungkin ada beberapa orang yang menangkap suasana kebatinan seperti itu.
Di tengah berbagai pameran kemewahan elite, saya membaca sejumlah berita online. “Ruang kerja Gubernur BI digeledah KPK.”
Ada lagi berita ada pabrik uang palsu di Universitas Alauddin. Kabarnya, sudah lama uang palsu diproduksi.
Di ruang pengadilan, jeritan ketidakadilan mencuat menyusul putusan hakim tindak pidana korupsi menjatuhkan hukuman 6,5 tahun penjara untuk Harvey Moeis.
Kelakuan Harvey terlibat dalam skandal tambang timah di Bangka merugikan keuangan negara (termasuk rusaknya lingkungan) ditaksir Rp 300 triliun.
Pada wilayah lain, perang antarelite, khususnya Jokowi dengan PDI Perjuangan tak kunjung henti.
Pembunuhan karakter melalui media sosial antaranak bangsa terus terjadi. Terlepas benar dan tindaknya, situasi itu seperti dibiarkan saja.
“Kenapa Pak Prabowo seperti membiarkan saja ‘perang’ antara elite tersebut?” kata Yanuar Rizky, ekonom yang saya ajak ngobrol di kanal Youtube saya.
Hilangnya etika dan moralitas, melemahnya institusi, kian lenturnya penegakan hukum, menjadi masalah bangsa ini.
“What’s wrong?" pikir saya.
Padahal, Presiden Jokowi telah mengkampanyekan Revolusi Mental selama sepuluh tahun. Apa kurang lama penanaman Revolusi Mental sehingga kurang tertanam di masyarakat?
Atau, Revolusi Mental sebenarnya hanyalah gimmick kampanye yang tak ada tindak lanjutnya dan lebih terfokus pada pembangunan fisik, bukan pembangunan manusia Indonesia?
Saya teringat apa yang disampaikan Guru Besar Sosiologi Ery Seda saat membahas buku saya, Mimpi Indonesia 2, dan mempertajam diksi “tintrim” yang saya pakai.
"Tintrim" adalah kata dalam bahasa Jawa yang penuh dengan nuansa. Nuansa kecemasan, kekhawatiran, ketidakpastian, tapi tetap ada harapan.
Ketua Yayasan Harkat Negeri Sudirman Said mengangkat perlunya titik kumpul. Titik kumpul bagi minoritas kreatif tercerahkan untuk duduk bersama, mengindentifikasi masalah bangsa, merumuskan peta jalan, dan mempertajam agenda perubahan untuk menyelamatkan demokrasi subtansial.
Saya teringat buku Oposisi Berserak yang ditulis Anders Uhlin. Buku ini menggambarkan interaksi gerakan prodemokrasi 1960-1990-an yang berserakan.
Boleh jadi, pesan buku itu relevan saat-saat ini. Ketika partai politik, kecuali PDI Perjuangan, telah kehilangan sikap kritisnya.
Ketika Mahkamah Konstitusi (MK) pernah tak berdaya menjadi proksi dari kekuasaan. Ketika Mahkamah Agung (MA) melewatkan momentum untuk membongkar mafia peradilan melalui pintu bekas pegawainya Zarof Ricar.
Belakangan MK bangkit kembali ketika menyatakan rezim ambang batas pencalonan presiden adalah tidak konstitusional.
Empat orang mahasiswa bisa menjadi contoh menggunakan jalur hukum untuk kembali menata demokrasi yang sedang menurun.
MK meluruskan supremasi politik menjadi supremasi konstitusi. Ada gejala kebangkitan kelas menengah. Dan itu positif.
Kelompok kelas menengah tercerahkan pun, masih dalam posisi berserakan. Tak ada kekuatan yang mempertemukan.
Belum ada payung besar yang menyatukan. Padahal, dalam kelompok-kelompok kecil mulai menggeliat.
Utan Kayu mulai aktif melakukan penyadaran publik melalui diskusi publik. Maarif Institute – lembaga yang dibangun mewarisi semangat Buya Syaffi Maarif – juga mulai berkegiatan di kantornya.
Lembaga kajian Praksis didirikan sejumlah romo-romo Serikat Jesus. Namun, lembaga lain yang selama Orde Baru pernah menjadi lokomotif demokrasi seperti YLBHI seperti kehilangan orientasi gerakan.
Di gerakan antikorupsi masih menggandalkan ICW yang juga mulai sepi. Tak ada regenerasi.
Lembaga quasi negara seperti Komnas HAM seperti kehilangan progresivitasnya memperjuangkan hak asasi manusia. Suaranya hampir tak terdengar.
Kemewahan birokrasi dan tawaran protokoler memang membuat mereka terlena. Sejumlah aktivis dan korban 1998 sudah masuk dalam lingkaran kekuasaan dan menjadi menteri atau kepala badan.
Titik Kumpul menjadi mendesak di tengah ancaman ekonomi berat di tahun 2025 akibat ketidakpastian global, jatuh temponya utang luar negeri, nilai tukar rupiah yang bertahan di angka Rp 16.000.
Pasar saham yang terus memerah. Bahan pokok naik. Elemen berserak perlu duduk bersama, syukur-syukur bisa membuat Civil Society Summit untuk menyusun peta jalan bersama untuk Indonesia 100 tahun.
Namun, siapa yang akan mengambil prakarsa ketika republik seperti tersandera ketidakberdayaan?
Ada kecemasan berbicara, ada sikap masa bodoh. Dalam situsi tintrim seperti sekarang ini, terasa bangsa ini hilang sosok seperti Arifin Panirogo, seorang pengusaha, tapi juga aktivis.
Kini yang ada adalah pengusaha pada satu sisi dan aktivis pada sisi lain. Aktivisme akan mudah goyah dalam situasi seperti sekarang.
Sudah banyak aktivis berpindah jalur untuk membangun masa depan mereka sendiri-sendiri. Tinggalkan sosok seperti Petrus Haryanto, Ibu Sumarsih, Sukidi berjuang di jalur yang akan kian sepi.
Situasinya memang dilematis, tapi semoga saja kelas menengah tersadarkan setelah MK mulai menyalakan lilin.