Tom Lembong Bungkam Usai 10 Jam Diperiksa Kejagung
Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong, tersangka korupsi impor gula tahun 2015-2016, selesai menjalani pemeriksaan penyidik Kejaksaan Agung (Kejagung RI). Tom Lembong bungkam setelah diperiksa.
Pantauan detikcom di lokasi, Jumat (1/11/2024), Tom Lembong keluar Gedung Kartika, Kejagung, Jakarta Selatan sekitar pukul 20.27 WIB. Pada pemeriksaan kali ini, Tom Lembong masih irit bicara.
Dia hanya melempar senyum ke wartawan yang mencecarnya soal kasus impor gula. Dengan tangan terborgol, Tom Lembong hanya berlalu naik mobil tahanan. Dia terlihat masih memegang buku kecil serta sejumlah dokumen.
Adapun Tom tiba di Kejagung untuk pemeriksaan hari ini pukul 09.58 WIB. Tom Lembong terlihat membawa sebuah buku dan sejumlah dokumen di tangannya. Dia tak berkomentar apa pun meski mendapat sejumlah pertanyaan dari awak media. Dia hanya berjalan masuk ke Gedung Kartika menuju ruang pemeriksaan.
Charles Sitorus selaku mantan Direktur Pengembangan Bisnis PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PT PPI) yang juga menjadi tersangka dalam perkara ini selesai lebih dahulu diperiksa. Dia meninggalkan Kejagung sekitar pukul 16.53 WIB. Charles juga tak memberikan keterangan apa pun perihal kasus yang menjeratnya.
Sebagai informasi, sebelum menjadi tersangka, Tom Lembong telah diperiksa Kejagung sebagai saksi kasus tersebut.
"Terkait dengan pemeriksaan yang bersangkutan sejak kurun waktu 2023 sudah 3 kali diperiksa sebagai saksi dan kemarin tentu yang bersangkutan dipanggil sebagai saksi," kata Kapuspenkum Kejagung Harli Siregar kepada wartawan, Rabu (30/10/2024).
Harli menyebutkan penyidik Kejagung melakukan gelar perkara setelah memeriksa Tom Lembong kemarin. Dari hasil gelar perkara, Kejagung akhirnya menetapkan Tom Lembong sebagai tersangka.
Kejagung belum membeberkan perihal aliran dana yang diterima Tom Lembong dalam kasus itu. Kejagung hanya menyebutkan bahwa penyidik tengah mengusut aliran dana korupsi ini terhadap Tom Lembong.Duduk Perkara
Kasus dugaan korupsi dalam impor gula pada 2015-2016 ini baru menjerat dua tersangka. Keduanya adalah Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong selaku Menteri Perdagangan 2015-2016 dan Charles Sitorus selaku mantan Direktur Pengembangan Bisnis PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PT PPI)
Dalam kasus ini, ada beberapa istilah yang harus dipahami, yaitu gula kristal mentah (GKM), gula kristal rafinasi (GKR), dan gula kristal putih (GKP). Mudahnya, GKM dan GKR adalah gula yang dipakai untuk proses produksi, sedangkan GKP dapat dikonsumsi langsung.
Berdasarkan aturan yang diteken Tom Lembong saat menjadi Mendag, hanya BUMN yang diizinkan melakukan impor GKP, itu pun harus sesuai dengan kebutuhan dalam negeri yang disepakati dalam rapat koordinasi antarkementerian serta dalam rangka mengendalikan ketersediaan dan kestabilan harga GKP.
Sedangkan dalam perkara ini–pada 2016 Indonesia mengalami kekurangan stok GKP–seharusnya bisa dilakukan impor GKP oleh BUMN. Namun, menurut jaksa, Tom Lembong malah memberikan izin ke perusahaan-perusahaan swasta untuk mengimpor GKM, yang kemudian diolah menjadi GKP.
Jaksa mengatakan Tom Lembong menekan surat penugasan ke PT PPI untuk bekerja sama dengan swasta mengolah GKM impor itu menjadi GKP. Total ada sembilan perusahaan swasta yang disebutkan, yaitu PT PDSU, PT AF, PT AP, PT MT, PT BMM, PT SUJ, PT DSI, PT MSI, dan terakhir PT KTM.
"Atas sepengetahuan dan persetujuan tersangka TTL (Thomas Trikasih Lembong), persetujuan impor GKM ditandatangani untuk sembilan perusahaan swasta. Seharusnya, untuk pemenuhan stok dan stabilisasi harga, yang diimpor adalah GKP secara langsung," kata Abdul Qohar selaku Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus.
Setelah perusahaan swasta itu mengolah GKM menjadi GKP, PT PPI seolah-olah membelinya. Padahal yang terjadi, menurut jaksa, GKP itu dijual langsung oleh perusahaan-perusahaan swasta itu ke masyarakat melalui distributor dengan angka Rp 3.000 lebih tinggi dari harga eceran tertinggi (HET).
"Dari pengadaan dan penjualan GKM yang diolah menjadi GKP, PT PPI mendapatkan fee sebesar Rp 105/kg. Kerugian negara yang timbul akibat perbuatan tersebut senilai kurang lebih Rp 400 miliar, yaitu nilai keuntungan yang diperoleh perusahaan swasta yang seharusnya menjadi milik negara," imbuh Abdul Qohar.