Tragedi Pencabulan di Ponpes Demak Jadi Patah Hati Terdalam Ayah Korban
DEMAK, KOMPAS.com - Raut wajah Hadi (60), bukan nama sebenarnya, seketika merah padam saat mengingat anak bungsunya yang menjadi korban pencabulan oleh gurunya sendiri.
Anak Hadi, yang kini berusia 16 tahun, menjadi salah satu dari 38 anak yang menjadi korban pencabulan oleh pengasuh pondok pesantren (Ponpes), MA (47) di Demak, yang terjadi antara tahun 2019 hingga 2023.
Hadi, yang juga seorang tokoh masyarakat, menaruh harapan besar kepada anaknya agar kelak memiliki wawasan pengetahuan umum dan agama untuk meneruskan perjuangannya.
Namun, pengasuh ponpes yang seharusnya mendidik justru merusak masa depan sang anak.
"Anak saya yang paling tidak terima. Bapaknya juga tidak terima sekali. Mau belajar ngaji atau santri, malah diperbuat seperti itu," kata Hadi kepada Kompas.com, Senin (4/11/2024).
Hadi mengetahui kasus ini dari salah seorang tokoh masyarakat asal Jepara yang juga mendampingi anaknya.
Setelah mengumpulkan bukti, Hadi melaporkan kasus tersebut ke Polres Demak pada awal Januari 2024.
"Dia (anak) tidak berani bilang, takut kalau dimarahi orangtuanya. Jadi orang lain yang memberitahu. Lalu saya langsung melaporkan ke pihak berwajib," tuturnya.
Hadi yang geram atas kejadian itu hampir saja gelap mata andai saja tidak sadar hukum dan memiliki janji kepada tokoh masyarakat asal Jepara untuk tidak bertindak di luar batas.
"Seandainya tidak ada yang mendorong, anak bilang langsung, saya tidak tahu hukum, pasti ya turun tangan. Berhubung saya ada hukum, tinggal mengajukan hukum saja," ucapnya.
MA terbukti bersalah dalam persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Demak pada Rabu (23/10/2024) sore.
Ia dijerat Undang-Undang Perlindungan Anak dengan vonis 15 tahun penjara dan denda Rp 50 juta.
Hadi menyatakan, meskipun ia sudah menerima vonis tersebut, ia masih berharap pelaku mendapat hukuman yang lebih setimpal.
"Ya tidak apa-apalah, (vonis) sudah maksimal. Sebetulnya saya itu masih keberatan, inginnya lebih dari itu," ujarnya.
"Alhamdulillah anak saya sudah di pesantren Kudus, masih meneruskan belajar," ujarnya.
Kasus pencabulan yang dilakukan MA terungkap berkat peran tokoh masyarakat asal Jepara, Idrus Bin Ahmad Al Cherid (47), yang juga mendampingi para korban santri.
Dalam persidangan di PN Demak, Idrus disebut hakim sebagai saksi kunci dalam kasus ini.
Idrus bercerita, pada Oktober 2023, anaknya yang juga nyantri kepada MA selama 8 tahun tiba-tiba mengutarakan ingin pindah ponpes dengan alasan yang aneh.
Ia merasa curiga dan merayu anaknya untuk mengungkapkan apa yang terjadi, namun anaknya enggan berbagi karena takut pertemanan antara pelaku dan ayahnya akan rusak.
"Ketika anak saya bicara seperti itu 8 tahun mengaji ilmunya berkah atau tidak, seketika hati saya langsung hancur lebur," kata Idrus kepada Kompas.com di salah satu Ponpes Demak, Selasa (5/11/2024).
Idrus kemudian menghubungi anaknya dan mengungkapkan rahasia yang disembunyikan.
Ia merasa lega bahwa anaknya bukan korban, tetapi tetap merasa sedih mengetahui anak-anak lain menjadi korban MA.
Idrus menuturkan bahwa para korban memiliki jaringan komunikasi tersendiri.
Ia mencatat sekitar 38 anak yang menjadi korban.
"Satu per satu anak ke rumah kami mereka cerita, yang berhasil kami catat dari keterangan sekitar 38 anak," ujarnya.
Ia menduga, MA melakukan perbuatannya sejak tahun 2000 hingga 2023.
Pada Desember 2023, Idrus mendorong semua korban untuk pulang ke rumah masing-masing.
"Itu ada yang keluar tengah malam, ada yang izin, sampai ada yang luar kota tidak punya uang saya cari-carikan ongkos," kata Idrus.
Setelah MA meninggalkan ponpes, para korban mulai melapor ke Polres Demak.
Hasil visum menunjukkan bahwa salah satu korban mengalami kerusakan pada anus.
"Penyidik yang mengantar itu dia bilang, hancur anusnya, ini pasti sering di giniin," katanya.
Meskipun korban yang dicatat sebanyak 28 anak, hanya beberapa yang dipanggil ke Polres Demak dan 6 anak bersedia menjadi saksi di pengadilan.
Banyak dari mereka yang memilih menutup diri karena dianggap aib.
Ana Istiqomah, dari Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P2PA) Dinsos P2PA Demak, mengatakan bahwa pihaknya bersinergi dengan Unit PPA Polres Demak untuk memberikan layanan yang dibutuhkan anak dan perempuan.
"Di kami ada beberapa macam pelayanan, kesehatan misalkan visum ataupun yang ada hubungannya dengan kekerasan, pelayanan psikologi, terus hukum misalkan pelecehan seksual dibawa ke jalur hukum," kata Ana, ditemui di kantornya, Selasa (5/11/2024).
Ana menambahkan bahwa maraknya kasus kekerasan seksual pada anak dalam setahun terakhir ini dilatarbelakangi oleh kurangnya perhatian orang tua dan kondisi ekonomi.
"Rata-rata anak bermasalah itu dari keluarga yang broken, kedua orang tua bekerja, kurang kasih sayang di rumah," sambungnya.
Ana juga mengimbau kepada para korban perempuan dan anak agar dapat mengadukan diri dengan layanan hotline 24 jam di nomor 085600610266.
"Setiap sosialisasi ke desa, ke sekolah pasti itu kami promosikan pelayanan kami," tutupnya.