Transisi Menuju Ekonomi Sirkular Kerakyatan

Transisi Menuju Ekonomi Sirkular Kerakyatan

Perubahan iklim semakin nyata dirasakan di Indonesia, mulai dari cuaca ekstrem, banjir yang semakin sering terjadi, hingga kenaikan suhu yang dapat mempengaruhi sektor pertanian dan kesehatan masyarakat. Dampak ini tidak hanya mengancam kehidupan sehari-hari tetapi juga memiliki implikasi besar terhadap stabilitas ekonomi negara. Berdasarkan laporan Swiss Re Institute, kawasan ASEAN terancam kehilangan hingga 17 persen PDB akibat kenaikan suhu global.

Kondisi ini menuntut langkah cepat dan strategis untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan beradaptasi dengan perubahan iklim yang tak terhindarkan. Risiko ini juga berpotensi memperburuk ketimpangan sosial, dengan kelompok rentan yang paling merasakan dampaknya. Menurut data Climate Watch, sumber utama emisi gas rumah kaca di Indonesia berasal dari sektor energi (44 persen), perubahan lahan dan kehutanan (33,8 persen), serta sampah (9,4 persen). Tantangan ini diperparah oleh lambatnya realisasi target pemerintah, di mana hingga 2022, penurunan emisi baru mencapai 10 persen dari target Nationally Determined Contribution (NDC) 2030 sebesar 31,89 persen.

Hal ini menunjukkan adanya kebutuhan mendesak untuk pendekatan baru yang lebih strategis, terintegrasi, dan adaptif, baik di tingkat nasional maupun daerah. Penurunan emisi gas rumah kaca harus disesuaikan dengan sumber emisinya. Setiap sektor membutuhkan strategi yang berbeda, dengan mempertimbangkan kapasitas fiskal, potensi pembiayaan, dan modal sosial yang dimiliki. Misalnya, sektor energi membutuhkan diversifikasi sumber daya menuju energi terbarukan, sementara sektor kehutanan memerlukan pendekatan konservasi berbasis komunitas.

Dengan pendekatan yang kontekstual, program-program penurunan emisi dapat lebih mudah diimplementasikan dan melibatkan partisipasi aktif masyarakat. Salah satu pendekatan yang menjanjikan adalah mengintegrasikan ekonomi sirkular dalam strategi pembangunan. Ekonomi sirkular berpotensi menggerakkan perekonomian, menciptakan lapangan kerja, dan menurunkan emisi. Lima sektor utama –makanan dan minuman, tekstil, konstruksi, perdagangan, serta elektronik– dapat menjadi katalis perubahan. Kelima sektor ini menyumbang sepertiga PDB Indonesia dan mempekerjakan lebih dari 43 juta orang.

Tantangan limbah dari sektor-sektor tersebut diperkirakan meningkat signifikan pada 2030, seperti limbah makanan dan minuman (54 persen), tekstil (70 persen), dan konstruksi (82 persen). Dengan pengolahan limbah yang tepat, Indonesia dapat menciptakan nilai tambah sekaligus membuka peluang kerja baru. Namun, implementasi ekonomi sirkular menghadapi tantangan berupa kurangnya infrastruktur pengolahan limbah, regulasi yang belum memadai, dan kesadaran masyarakat yang masih rendah.

Salah satu contoh konkret adalah pemanfaatan minyak jelantah sebagai bahan baku biodiesel. Berdasarkan laporan Traction Energy Asia, ketersediaan minyak jelantah dari rumah tangga dan usaha mikro di lima kota besar di Pulau Jawa dan Bali saja mencapai 1,2 juta kiloliter per tahun. Pengelolaan minyak jelantah ini tidak hanya mendukung transisi energi, tetapi juga dapat menghemat hingga Rp 4 triliun per tahun jika 10 persen bahan baku biodiesel dari CPO digantikan dengan minyak jelantah.

Selain itu, potensi ini dapat mengurangi emisi, pencemaran air, dan risiko kesehatan akibat penggunaan ulang minyak goreng bekas. Namun, untuk merealisasikan potensi ini, pemerintah perlu memastikan keberlanjutan rantai pasok minyak jelantah dengan regulasi yang jelas dan insentif yang menarik.

Untuk mewujudkan potensi ini, diperlukan langkah konkret dari berbagai pihak. Pemerintah perlu mengambil peran utama melalui regulasi yang mendukung, seperti menetapkan definisi minyak jelantah sebagai limbah bernilai guna, mengatur tata niaga yang transparan, serta memberikan insentif ekonomi. Selain itu, program edukasi masyarakat harus diperluas untuk mendorong aksi kolektif.

Contoh inspiratif seperti Chevie Mawarti, pendiri Arnetta Craft, menunjukkan bagaimana masyarakat dapat diberdayakan untuk mengolah minyak jelantah menjadi produk bernilai tambah, seperti sabun dan lilin. Selain itu, pelibatan sektor swasta untuk investasi teknologi dan pengembangan infrastruktur pengolahan limbah dapat mempercepat transisi menuju ekonomi sirkular.

Pihak swasta juga memiliki peran penting dalam investasi teknologi dan infrastruktur berkelanjutan. Pengembangan sistem pengumpulan dan pengolahan minyak jelantah yang mudah diakses masyarakat dapat membuka peluang kolaborasi antara pemerintah dan sektor swasta. Hal ini tidak hanya memberikan manfaat ekonomi tetapi juga mempercepat transisi menuju ekonomi hijau. Belajar dari negara lain seperti Belanda yang telah sukses dengan implementasi ekonomi sirkular, Indonesia dapat mengadaptasi strategi yang relevan untuk kondisi lokal.

Transisi menuju ekonomi sirkular adalah keniscayaan yang tidak dapat ditunda. Langkah awal dapat dimulai dari level akar rumput dengan mendorong masyarakat mengumpulkan minyak jelantah dan menyerahkannya ke bank sampah atau pengepul resmi. Fasilitas pengumpulan minyak jelantah di setiap kelurahan, skema insentif yang menarik, hingga pendekatan jemput bola ke rumah-rumah dapat menjadi solusi untuk mendorong partisipasi aktif masyarakat. Selain itu, perlu ada roadmap yang jelas untuk memastikan keberlanjutan dari inisiatif-inisiatif ini.

Dengan kebijakan penurunan emisi yang lebih inklusif dan komitmen kuat dari seluruh pihak, target penurunan emisi dapat tercapai tanpa membebani ruang fiskal negara. Masa depan pembangunan Indonesia tidak hanya bergantung pada ambisi, tetapi juga pada aksi nyata dan kolaborasi bersama. Sudah saatnya kita bergerak menuju ekonomi yang berkelanjutan, inklusif, dan berdaya saing global.

Eliza Mardian peneliti CORE Indonesia dan Asri Pebrianti peneliti Traction Energy Asia

Sumber