Trump Bakal Jabat Presiden AS Lagi, Bagaimana Nasib Kasus Hukumnya?
Hingga hari pemilihan pada tanggal 5 November lalu, Donald Trump, mantan dan calon presiden Amerika Serikat (AS) masih menghadapi kemungkinan menghabiskan waktu bertahun-tahun di dalam penjara. Namun, kembalinya ia ke Gedung Putih pada tahun 2025 berarti beberapa kasus pengadilan kemungkinan besar akan dikesampingkan.
Perubahan dalam status kasus terhadap Trump, sebagian besar disebabkan oleh keputusan Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa presiden memiliki kekebalan luas dari penuntutan atas tindakan resmi yang dilakukan saat menjabat.
Trump pada masa jabatan pertamanya sebagai presiden (2017-2021), menunjuk tiga hakim agung ke Mahkamah Agung, sehingga memberikannya mayoritas konservatif enam banding tiga. Selain itu, karena kebijakan Departemen Kehakiman mengatakan presiden yang sedang menjabat tidak dapat diadili dalam kasus federal, jaksa penuntut dari kasus federal yang melilit Trump kini harus menghentikan penyelidikannya.
Trump menghadapi empat dakwaan pidana dua di tingkat federal yang diajukan oleh penasihat khusus Departemen Kehakiman Jack Smith, satu di negara bagian New York, dan satu lagi di negara bagian Georgia.
Hanya pengadilan New York yang telah mencapai vonis. Di sana, juri memvonis Donald Trump pada bulan Juni atas 34 tuduhan kejahatan dalam skema untuk mempengaruhi hasil pemilihan umum 2016 secara ilegal lewat pembayaran uang tutup mulut kepada aktor film dewasa Stormy Daniels.
Hakim Juan M. Merchan telah menangguhkan kasus tersebut setidaknya hingga 19 November guna memberi kesempatan kepada penasihat di kedua belah pihak untuk mempertimbangkan langkah selanjutnya setelah hasil pemilihan umum.
Dia dinyatakan bersalah atas pelecehan seksual dalam dua gugatan perdata pencemaran nama baik yang diajukan oleh jurnalis E. Jean Carroll. Pengadilan memutuskan Trump harus memberinya ganti rugi total sebesar USD 88,4 juta (Eur 83,6 juta). Trump telah mengajukan banding atas kedua putusan tersebut.
Trump juga mengajukan banding atas putusan penipuan perdata yang mengharuskan dia dan perusahaannya membayar denda sebesar USD 454 juta, menyusul kasus yang diajukan oleh Jaksa Agung New York Letitia James.
Tentu saja untuk kasus federal, dan mungkin juga kasus negara bagian, semua akan terhenti. "Setidaknya untuk empat tahun ke depan, tampaknya persidangan akan dihentikan atau mungkin ditangguhkan," kata Eric Posner, profesor di Sekolah Hukum Universitas Chicago, kepada DW.
Departemen Kehakiman mempertahankan kebijakan untuk tidak menuntut presiden yang sedang menjabat. Kebijakan yang sama berarti Trump tidak didakwa setelah laporan Mueller dirilis pada tahun 2019, yang menyelidiki tuduhan campur tangan Rusia dalam pemilihan presiden 2016 dan hubungan dengan kampanye elektoral Trump yang pertama.
Smith, yang telah memimpin penuntutan federal, kini dilaporkan menghentikan kasus-kasus tersebut. Namun kebijakan tersebut mungkin tidak berlaku untuk presiden baru yang telah didakwa. Pandangan tersebut dianut oleh Claire Finkelstein, profesor di Sekolah Hukum Carey Universitas Pennsylvania, dan Richard Painter, mantan kepala pengacara etika Gedung Putih selama pemerintahan George W. Bush.
Vonis yang dijatuhkan dalam persidangan "uang tutup mulut" Trump berarti ia berpotensi dijatuhi hukuman penjara. Namun, tidak ada jaminan vonis akan tetap dijatuhkan setelah Trump terpilih kembali.
Hakim Merchan telah menghentikan persidangan hingga setidaknya 19 November, untuk memberi kesempatan kepada jaksa penuntut menyampaikan pandangan mereka tentang apa yang harus dilakukan, sehubungan dengan putusan kekebalan Mahkamah Agung dan kemenangan mantan dan calon presiden tersebut dalam pemilihan umum.
"Jika hukuman dijatuhkan dalam kasus ini, saya akan terkejut jika hukumannya benar-benar berupa penjara," kata Finkelstein. "Kemungkinan besar, denda atau masa percobaan akan dijatuhkan, dan apakah itu akan dilakukan sekarang atau sebagai bagian dari hukuman yang ditangguhkan masih menjadi pertanyaan."
Trump dan 18 orang yang terlibat dalam konspirasi didakwa dalam kasus pemerasan atas upaya untuk membatalkan hasil pemilihan presiden 2020 di negara bagian Georgia.
Namun, kasus tersebut telah berlangsung selama lebih dari setahun, dan penuntutan telah dihambat oleh upaya yang sedang berlangsung untuk mendiskualifikasi Jaksa Wilayah Fani Willis atas dugaan hubungan yang tidak pantas dengan jaksa yang ditunjuknya untuk menangani kasus tersebut, Nathan Wade.
"Bagi kantor kejaksaan Georgia untuk melawan presiden yang sedang menjabat sendirian, terutama mengingat masalah yang telah terjadi di kantor tersebut, sejujurnya merupakan prospek yang sangat menakutkan, jadi saya dapat membayangkan jika Fani Willis tidak ingin melakukan itu," kata Finkelstein.
Presiden memiliki kewenangan untuk mengampuni pelaku kejahatan federal, dan para pakar hukum telah memperdebatkan apakah Trump dapat menggunakan kewenangan ini untuk kepentingannya sendiri.
Secara konstitusional, seorang presiden di AS hanya dapat menjabat dua kali. Itu membuka kemungkinan bahwa, jika ini ditunda, kasus-kasus itu dapat dilanjutkan setelah ia lengser dari jabatannya.
"Jika mereka mengajukan penangguhan proses, kasus-kasus itu dapat dihidupkan kembali," kata Finkelstein.
Namun, ada politik dalam masalah ini, dan seperti yang ditunjukkan Posner. Ada kemungkinan bahwa di masa depan tidak ada lagi keinginan untuk membuka kembali masalah ini saat Trump meninggalkan Gedung Putih. Pada usia 82 tahun, ia akan menjadi presiden tertua yang lengser dalam sejarah AS.
"Ia akan menjadi tua," kata Posner. "Tampaknya sangat mungkin bahwa pemerintah, baik yang dikendalikan oleh Demokrat atau Republik, akan berpikir bahwa tidak ada gunanya melanjutkan penuntutan ini."
Diadaptasi dari artikel DW berbahasa Inggris
Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
Simak juga Video ‘Trump Akhirnya Menemui Joe Biden di Gedung Putih’
[Gambas Video 20detik]