Trump, Prabowo, dan Proyeksi Relasi Keduanya di Masa Depan
SEBENARNYA jika kita tilik secara ideologi kebijakan, platfrom ekonomi politik dan kebijakan luar negeri Donald John Trump tidak terlalu jauh berbeda dengan Prabowo Subianto.
Kepentingan dalam negeri adalah yang utama, sebelum berbicara di pentas yang lebih luas, yakni pentas global.
Keberhasilan kebijakan di dalam negeri akan menjadi pancaran kebijakan yang akan dibawa ke luar negeri. Sehingga kata nasionalisme dan patriotisme akan menjadi termonologi ekonomi, politik, dan geopolitik yang akan banyak digunakan oleh kedua figur Presiden tersebut.
Setelah meneriakkan kata “Merdeka” tiga kali pascapidato pelantikannya sebagai Presiden terpilih, Prabowo Subianto langsung memberikan komentar tambahan bahwa siapa yang tidak ikut meneriakkan kata “merdeka”, maka mereka dianggap tidak patriotis.
Tak berbeda dengan Donald Trump, kata patriotis menjadi terminologi politik yang sering beliau gaungkan sejak 2016 lalu, untuk menyudutkan lawan politiknya dari kubu Demokrat, yang menurut Donald Trump, sebagai penganut paham “globalist”, yakni terlalu mengedepankan penguasaan pentas global untuk menjadi ajang kemajuan di dalam negeri Amerika. Dan hal itu, menurut Trump, tidak terjadi sama sekali.
Kelompok ini dikatakan tidak patriotis oleh Donald Trump karena dianggap telah menjual kepentingan Amerika untuk kepentingan para pemilik modal di Wall Street.
Ketika masih bersama dengan Steve Bannon (mantan Kepala Strategi Gedung Putih dan Penasihat senior Presiden Trump), Trump bahkan menuduh kelompok globalist ini sebagai penghuni rawa di Washington.
Karena itu, Trump dan Bannon sering kali menggunakan kata “dry the swamp” (keringkan rawa) di dalam narasi-narasi politiknya, yang mengacu kepada kelompok ekonomi politik “mapan” (establishment) yang menikmati begitu banyak keuntungan ekonomi atas kebijakan-kebijakan globalisasi Gedung Putih.
Narasi anti-globalist ini membawa Bannon dan Trump pada beberapa titik kebijakan yang berbeda dengan pendahulunya.
Beberapa di antaranya adalah kebijakan antiimigran di satu sisi dan proteksionisme ekonomi di sisi lain (tarif masuk tinggi). Sementara dari sisi diplomasi, pemerintahan Trump lebih memilih hubungan bilateral, bukan multilateral.
Karena itu pula mengapa Trump langsung keluar dari Paris Agreement sehari setelah menjabat sebagai Presiden di tahun 2017, lalu keluar dari kesepakatan dagang Trans Pacific (TPP), mengancam akan keluar dari WTO, nyaris mengabaikan NATO, dan membatalkan kesepakatan NAFTA dengan Kanada dan Mexico, menggantinya dengan kesepakatan baru yang lebih disukai oleh Trump.
Pun dalam pertemuan G7, Trump tidak terlalu memanfaatkannya untuk men-deliver kepentingan global Amerika.
Hal ini tentu sangat bisa dipahami, setidaknya posisi ideologis Donald Trump di dalam Partai Republik bisa menjelaskan hal tersebut.
Donald Trump bukanlah pendukung Partai Republik kebanyakan. Secara ideologis, Donald Trump berada pada sisi yang sangat berlawanan dengan Bernie Sanders, yakni sisi ter-kanan dari ideologi konservatif Partai Republik (far right).
Sehingga cukup bisa dipahami mengapa pendukung utama Trump adalah kelompok radikal kanan.
Sementara Bernie Sanders berada pada sisi ter-kiri dari ideologi liberalisme Partai Demokrat. Sehingga platform kebijakan dari kedua tokoh ini sangat berlawanan di satu sisi, tapi juga sama-sama ekstrem di garisnya masing-masing di sisi lain.
Jadi secara substantif, kebijakan-kebijakan Trump akan banyak bersamaan dengan kebijakan Prabowo Subianto yang akan mengutamakan nasionalisme dan patriotisme ekonomi politik, walau secara teknis cara yang ditempuh hampir pasti tidak sama.
Donald Trump memahami betapa pentingnya panggung, sehingga untuk tetap menguasai panggung dan arena isu, Trump akan menggunakan cara-cara kontroversial dan narasi-narasi yang cukup frontal di satu sisi dan langkah-langkah yang sedikit “out of the box” di sisi lain.
Salah satunya, misalnya, bertemu dengan pemimpin Korea Utara Kim Jong Un yang terjadi di tahun 2018 lalu, kemudian bersahabat secara naratif-karikatif dengan Presiden Rusia Vladimir Putin, menyatakan dukungan kepada Jair Bolsonaro dari Brasil atau Victor Orban di Hungaria, dan seterusnya.
ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A Presiden Prabowo Subianto memimpin Sidang Kabinet Paripurna di Kantor Presiden, Jakarta, Rabu (6/11/2024). Sidang kabinet tersebut berkenaan dengan rencana Presiden Prabowo untuk melakukan kunjungan kenegaraan dan kunjungan kerja ke sejumlah negara diantaranya yaitu menghadiri KTT APEC di Peru dan G20 di Brasil. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/sgd/foc.Sementara Prabowo, sedari awal turun ke dalam arena politik praktis nasional justru memilih langkah santun. Meski membawa narasi yang keras, tapi berusaha untuk tidak menyudutkan siapapun.
Bahasa-bahasa politik Prabowo sedemikian rupa menghindari berseteru dengan para pihak di dalam arena politik.
Langkah Prabowo adalah langkah bersahabat, sebagaimana pepatah yang sering beliau sampaikan. Seribu kawan terlalu sedikit, satu musuh terlalu banyak.
Di dalam ranah domestik, Prabowo telah membuktikan pepatah tersebut dengan berusaha merangkul semua pihak ke dalam pemerintahannya, meskipun banyak mendapatkan penilaian negatif.
Prabowo menghindari berkontroversi di ruang publik dengan siapapun yang ia anggap tak sejalan dengannya.
Prabowo boleh jadi tidak akan terlalu memanfaatkan kekuatan digital dan media sosial, karena beliau berusaha tampil apa adanya, tanpa polesan “post truth” dan “political makeup” lainnya.
Sebagaimana telah disaksikan, dalam semua kesempatan, Presiden kedelapan Republik Indonesia itu akan selalu membuka pintu untuk bersabahat dengan lawan politiknya sekalipun, meskipun hal itu tidak selalu terwujud.
Pasalnya, tak semua kesepahaman bisa disepakati dengan semua pihak. Istilah seribu kawan terlalu sedikit dan satu musuh terlalu banyak memang tidak mudah untuk diwujudkan di dalam ranah politik yang majemuk seperti Indonesia, dengan kompleksitas historisnya yang khas dan memang tak dimiliki oleh negara lain.
Di sisi lain, Donald Trump adalah politisi yang berani “pick a side” dalam semua isu di ruang publik yang ia masuki, meskipun di belakang layar timnya akan tetap mengalkulasi peluang untuk tetap berdiplomasi.
Hal itu dilakukan oleh Trump semata untuk kepentingan panggung depan dan demi mendapatkan sebanyak mungkin perhatian.
Namun, lepas dari perbedaan teknis dan persamaan strategis tersebut, lantas bagaimana relasi keduanya di kemudian hari?
Nah, pada titik inilah masalah muncul di tataran internasional jika orientasi nasionalisme mulai mengemuka.
Secara ekonomi, proteksionisme dan tarif akan menjadi senjata andalan untuk melindungi dunia bisnis domestik di satu sisi dan mempersiapkan daya saing domestik di sisi lain.
Sehingga mau tak mau, dibutuhkan diplomasi yang superalot jika kedua negara bertemu pada satu isu yang sama-sama terkait dengan kepentingan nasional masing-masing.
Dengan kata lain, secara personal Prabowo boleh jadi dipuji oleh Donald Trump berkat patriotisme politiknya, begitu juga sebaliknya.
Namun pada tataran praktik ketika kedua negara harus berdiplomasi pada isu-isu kepentingan nasional masing-masing, besar kemungkinan kedua pihak akan saling melempar muka masing-masing, karena dibutuhkan perdebatan keras dan frontal untuk mempertemukan kepentingan kedua negara.
Katakanlah, misalnya, Donald Trump akan sangat senang jika Prabowo mengambil jarak dengan China. Namun di sisi lain, rasanya hal itu akan sangat sulit diwujudkan, karena hampir bisa dipastikan bahwa Prabowo akan memilih dekat dengan Amerika sekaligus dengan China.
Toh, memang begitu platform politik luar negeri kita sedari dulu, dan jauh lebih ditekankan lagi oleh Prabowo di hari ini.
Atau, misalnya, pada isu komoditas mineral Nikel. Donald Trump tentu menginginkan adanya diversifikasi pelaku industri pada komoditas Nikel Indonesia, agar China tidak menjadi penguasa tunggal industri Nikel di Sulawesi (dan Halmahera).
Sementara dengan konstelasi ekonomi politik di dalam negeri hari ini, rasanya sulit untuk dilakukan, karena sudah terlanjur seperti itu formasi penguasaan industri Nikel di Sulawesi sedari awalnya.
Pun termasuk yang paling krusial adalah soal penjualan senjata Amerika ke Indonesia. Sebagaimana diketahui, Donald Trump adalah sales senjata yang handal. Pada kunjungan pertamanya ke luar negeri di tahun 2017, Trump langsung tancap gas ke Arab Saudi dan membukukan penjualan senjata kepada MBS sebanyak jutaan dollar AS.
Sementara dengan paltform seribu kawan Prabowo, sebagaimana telah kita saksikan, jika pembelian senjata strategis akan berimbas kepada seteru geopolitik, maka Prabowo akan memilih jalan tengah dengan membelinya dari negara yang terbilang netral secara geopolitik, seperti membeli jet tempur Rafale dari Perancis, misalnya.
Hal-hal semacam ini tentu akan memicu gesekan dengan Donald Trump. Apalagi jika Prabowo memilih China sebagai supplier senjata Indonesia.
Pendek kata, kesamaan platform ideologis ekonomi politik Donald Trump dan Prabowo Subianto memang tidak menjadi jaminan keduanya akan berkawan secara harmonis di tahun-tahun mendatang. Perbedaan pendekatan dan cara, nampaknya akan mendamaikan keduanya.
Donald Trump yang frontal boleh jadi akan ternetralisasi oleh kehati-hatian politik luar negeri Prabowo di satu sisi dan keinginannya untuk tetap bersahabat dengan siapapun di sisi lain, meskipun berbeda kepentingan.
Setidaknya, kemampuan Prabowo yang telah terbukti bisa dekat dengan sosok Vladimir Putin dan Xi Jinping akan menjadi kredit point bagi Trump untuk memperlakukan Prabowo sedikit setara dengan dua pemimpin besar tersebut.
Boleh jadi pada akhirnya Asia Tenggara pada umumnya dan Indonesia pada khususnya menjadi semakin dipertimbangkan oleh seorang Donald Trump dan Amerika Serikat, karena keberhasilan Prabowo Subianto dalam memainkan kartu-kartu geopolitis yang cantik di satu sisi dan tetap berpegang pada kepentingan nasional Indonesia di sisi lain. Semoga saja demikian!