Uji Materi Kotak Kosong untuk Pilkada Selain Calon Tunggal Ditolak MK
JAKARTA, KOMPAS.com - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji konstitusionalitas terkait blank vote atau kotak kosong dalam pemilihan kepala daerah, khususnya untuk pemilihan dengan lebih dari satu pasangan calon.
"Amar putusan, mengadili, menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Suhartoyo saat mengucapkan amar Putusan Nomor 145/PUU-XXII/2024 dalam persidangan, Kamis (14/11/2024).
Dalam pertimbangannya, Mahkamah menyatakan bahwa absennya kotak kosong dalam pilkada dengan lebih dari satu pasangan calon tidak mengurangi hak memilih, seperti yang diklaim oleh para Pemohon.
Uji materi ini diajukan oleh Herdi Munte, yang berpendapat bahwa terdapat perlakuan tidak adil terhadap kotak kosong yang dianggap sah dalam pilkada dengan calon tunggal, sementara suara golongan putih yang memilih blank vote pada pilkada dengan lebih dari satu pasangan calon dianggap tidak sah.
"Golput pada pilkada saat ini sangat banyak terjadi, di kota Medan pilkada pada 2015 berjumlah 24,9 persen. Fenomena golput ini menjadi dorongan bagi kami," kata Herdi pada sidang Kamis, (17/10/2024) lalu.
Pemohon lainnya, Missiniaki Tommi, menambahkan bahwa para pasangan calon Gubernur Sumatera Barat dinilai tidak memiliki prestasi yang dapat dibanggakan.
Ia merasa haknya sebagai pemilih untuk menyuarakan ketidaksetujuan terhalang oleh undang-undang yang tidak mengakui preferensi ketidaksetujuan dalam bentuk blank vote.
Para Pemohon menegaskan bahwa pengakuan terhadap blank vote merupakan perwujudan hak politik rakyat untuk mengekspresikan ketidaksetujuan terhadap semua pasangan calon yang ada.
Mereka mengusulkan bahwa jika blank vote menang, maka pemilihan harus diulang dan pasangan calon yang kalah oleh blank vote tidak boleh mencalonkan diri lagi di pemilihan ulang.
Undang-undang yang didalilkan para pemohon adalah Pasal 79 ayat (1) dan Pasal 85 ayat (1) UU 1/2015, Pasal 94 UU 8/2015, Pasal 107 ayat (1) dan Pasal 109 ayat (1) UU 10/2016 inkonstitusional sepanjang tidak ditambahkan frasa “kolom kosong sebagai wujud pelaksanaan suara kosong” dalam Pasal 79 ayat (1), Pasal 85 ayat (1) UU 1/2015 dan Pasal 94 UU 8/2015.
Mereka menganggap bahwa undang-undang tersebut inkonstitusional sepanjang tidak ditambahkan frasa “kolom kosong sebagai wujud pelaksanaan suara kosong” dalam Pasal 79 ayat (1), Pasal 85 ayat (1) UU 1/2015, dan Pasal 94 UU 8/2015.
Kemudian meminta penambahan frasa “haruslah mengalahkan perolehan suara kolom kosong (blank vote)” dalam Pasal 107 ayat (1) dan Pasal 109 ayat (1) UU 10/2016. Dengan kata lain, para Pemohon menghendaki agar perolehan suara kolom kosong atau suara kosong diakui keberadaannya dalam pemilihan kepala daerah dengan lebih dari satu pasangan calon.