Umat Katolik di Suriah Bersiap untuk Perayaan Natal, Pastor: Kami Hidup Berdampingan
DAMASKUS, KOMPAS.com - Setelah penggulingan Presiden Suriah Bashar Al Assad, kini umat Katolik di Aleppo bersiap untuk perayaan Natal 2024.
Menurut Bruder Marist Katolik Aleppo, Georges Sabe, para penguasa baru Suriah telah berupaya untuk meyakinkan kaum minoritas agama di Suriah.
"Upaya tersebut telah berhasil, setidaknya untuk saat ini," kata Bruder Georges Sabe, yang ikut serta awal minggu ini dalam sebuah pertemuan antara pemberontak dan perwakilan Katolik setempat.
Itu adalah yang kedua sejak perebutan ibu kota Damaskus pada 8 Desember 2024. "Mereka sangat meyakinkan," katanya kepada AFP.
"Teruslah hidup normal, Anda akan segera merayakan Natal, tidak ada yang akan berubah bagi Anda," kata Bruder Georges Sabe menirukan pernyataan dari pemimpin baru Suriah.
"Sejauh ini, tidak ada yang berubah," tambahnya, dikutip dari AFP pada Jumat (13/12/2024).
Hayat Tahrir Al Sham, kelompok Islamis yang memimpin penggulingan Assad, berakar pada cabang Al Qaeda di Suriah, meskipun telah berusaha untuk memoderasi retorikanya.
Sabe mencatat bahwa perwakilan pemerintahan baru yang ditemuinya tiga anggota dan dua politisi semuanya berasal dari Aleppo.
"Salah satu dari mereka baru saja menyelesaikan gelar doktornya di bidang teknik mesin sebelum perang. Dia memberi tahu kami bahwa dia memiliki tetangga yang beragama Katolik," terangnya.
"Jadi, masyarakat telah melanjutkan kehidupan normal, dengan misa pagi dan sore dan dekorasi Natal mulai dipasang," tambahnya.
Di Suriah yang memiliki banyak agama, Natal dan Paskah Katolik dan Ortodoks selalu dirayakan, bersamaan dengan tahun baru.
Masyarakat tersebut sangat terpukul oleh emigrasi selama perang saudara. Dari sekitar 200.000 orang Katolik yang tinggal di Aleppo sebelum 2011, hanya 30.000 yang masih tinggal di kota tersebut, menurut para pemimpin masyarakat.
Namun, kota tersebut tetap terintegrasi sepenuhnya dan menganggap dirinya sebagai warga Suriah sebelum hal lainnya.
"Kami tidak ingin pergi, kami ingin tetap berhubungan baik dengan umat Muslim. Kami berbicara dalam bahasa yang sama," tegas Sabe.
Sejauh ini, janji untuk mengizinkan gereja-gereja terus membunyikan lonceng telah ditepati, dan lonceng tersebut berbunyi saat senja untuk menandai misa di Gereja Santo Fransiskus, yang juga dikenal sebagai Katedral Latin.
"Orang-orang di sini memiliki rasa spiritual yang dalam," jelas Pastor Bahjat saat puluhan umat paroki tiba untuk mengikuti ibadat.
"Selama bertahun-tahun perang, mereka tidak pernah berhenti datang ke gereja," ujarnya.
Ia mengatakan dapat memahami mengapa beberapa orang menyatakan kekhawatiran, terutama di luar negeri.
"Di lapangan, kami tidak melihat adanya tindakan diskriminasi. Jadi, kami sangat berharap masyarakat kami akan hidup berdampingan secara damai," harapnya.