UNCTAD Wanti-Wanti BI Rate Tinggi Perlambat Pertumbuhan Ekonomi
Bisnis.com, JAKARTA — United Nations Conference on Trade and Development alias UNCTAD mewanti-wanti dampak negatif tingginya suku bunga acuan atau BI Rate terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Dalam laporan terbarunya bertajuk Trade and Development Report 2024, UNCTAD mengestimasikan ekonomi Indonesia akan tetap tumbuh cerah di tengah ketidakpastian global. Sepanjang 2024, UNCTAD meyakini pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,1%.
Hanya saja, UNCTAD mencatat tingginya suku bunga acuan di Indonesia membuat pelaku usaha memperlambat ekspansi bisnisnya pada tahun ini. Alasannya, suku bunga acuan yang tinggi akan buat biaya pinjaman ke bank juga tinggi.
UNCTAD melihat bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia masih terbantu konsumsi rumah tangga yang masih tumbuh relatif tinggi.
Untuk tahun depan, organisasi Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) memproyeksikan ekonomi Indonesia bisa tumbuh lebih tinggi yaitu 5,2%. Hanya saja, harus ada penurunan suku bunga acuan oleh Bank Indonesia (BI).
“UNCTAD memperkirakan perekonomian Indonesia akan tetap tumbuh kuat pada 2025, dengan prospek penurunan suku bunga acuan,” tulis UNCTAD dalam laporannya, dikutip Kamis (26/12/2024).
Selain penurunan suku bunga acuan, UNCTAD mencatat ada tiga faktor utama yang bisa membuat ekonomi Indonesia tumbuh mencapai 5,2% pada tahun depan yaitu peningkatan belanja pemerintah, pariwisata, dan ekspor logam dasar.
“Peningkatan belanja fiskal untuk pembangunan infrastruktur dan bantuan sosial membantu mendukung pertumbuhan. Meningkatnya kedatangan wisatawan—terutama dari Asia—memperkuat ekspor jasa. Sementara peningkatan volume ekspor logam dasar—terutama nikel—meningkatkan keseimbangan sektor eksternal,” jelas UNCTAD.
Sebagai perbandingan, perekonomian Indonesia diproyeksikan akan tumbuh lebih tinggi daripada rata-rata ekonomi kawasan Asia Tenggara. UNCTAD memproyeksikan perekonomian kawasan Asia Tenggara akan tumbuh 4,4% pada 2025.
Proyeksi itu tumbuh melambat dibandingkan tahun ini. Sepanjang 2024, UNCTAD memperkirakan pertumbuhan ekonomi Asia Tenggara mencapai 4,5%.
“Kebijakan moneter yang ketat akan berkelanjutan di tengah kekhawatiran modal asing terus keluar dan tekanan depresiasi mata uang lokal akibat perkembangan moneter di tempat lain—khususnya di Amerika Serikat—sehingga semakin menahan permintaan domestik di kawasan Asia Tenggara,” jelas laporan tersebut.
Lebih spesifik, perekonomian Indonesia (5,2%) juga diproyeksikan tumbuh lebih tinggi dibandingkan Malaysia (4%) dan Thailand (2,9%) namun lebih rendah daripada Vietnam (5,4%) pada 2025.
BI Rate
Sebagai informasi, sepanjang tahun ini BI Rate berada di kisaran 6%—6,25%. Pada Januari—Maret 2024, BI mempertahankan suku bunga acuan di level 6%.
Lalu, pada April 2024, BI menaikkan suku bunga acuan ke level 6,25% dan bertahan sampai dengan Agustus 2024. Pada September 2024, BI menurunkan suku bunga acuan menjadi 6% dan bertahan hingga kini.
Dalam pengumuman terbaru, BI menahan suku bunga acuan alias BI Rate di level 6% berdasarkan Rapat Dewan Gubernur (RDG) periode 17—18 Desember 2024.
Gubernur BI Perry Warjiyo juga menetapkan suku bunga Deposit Facility tetap sebesar 5,25% dan suku bunga Lending Facility tetap sebesar 6,75%.
Perry mengatakan keputusan ini konsisten dengan arah kebijakan moneter untuk memastikan tetap terkendalinya inflasi dalam sasaran 2,5±1% pada 2024 dan 2025, serta untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
"Fokus kebijakan moneter diarahkan untuk memperkuat stabilitas nilai tukar rupiah dari dampak makin tingginya ketidakpastian perekonomian global akibat arah kebijakan Amerika Serikat dan eskalasi ketegangan geopolitik di berbagai wilayah," ujar Perry dalam konferensi, Rabu (18/12/2024).
Ke depan, BI akan terus memperhatikan pergerakan nilai tukar rupiah dan prospek inflasi, serta dinamika kondisi yang berkembang, dalam mencermati ruang penurunan suku bunga moneter lebih lanjut.
"Kebijakan makroprudensial dan sistem pembayaran terus diarahkan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Kebijakan makroprudensial longgar terus ditempuh untuk mendorong kredit pembiayaan perbankan ke sektor-sektor prioritas, pertumbuhan, dan penciptaan lapangan kerja," ujar Perry.