Ungkap Kondisi Memprihatinkan Penampungan, Mantan TKI: Tidur Depan Toilet, Makan Tempe Secuil
BOGOR, KOMPAS.com - Seorang mantan tenaga kerja Indonesia (TKI), Nuryati Solapari (45) mengungkap kondisi memprihatinkan saat dirinya berada di penampungan TKI di Tapos, Kabupaten Bogor, tahun 1998.
Nuryati bercerita, fasilitas penampungan saat itu jauh dari kesan layak. Sebab, ruangan terbatas, tetapi sesak oleh para calon TKI.
"Sampai penampungan itu orang sudah seperti pindang. Saat itu saya nangis, ya Allah. Waktu tidur, orang tidur di kasur, tapi saking membeludaknya orang, saya tidur di depan toilet," ujar Nuryati saat diwawancarai Kompas.com, Kamis (5/12/2024).
Tidak hanya tempat tinggal yang sempit, Nuryati juga mengeluhkan keterbatasan makanan yang diberikan selama di penampungan.
Menurut dia, porsi makanan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan nutrisi para calon TKI.
“Makanannya itu dari perusahaan nasinya segunung, tapi lauknya sedikit. Saya ingat banget saya hanya diberi tempe sebesar jari kelingking dan kacang panjang tiga potong," kenang Nuryati.
Namun, hal itu tak menyurutkan niat Nuryati, yang kala itu baru lulus SMA, untuk menjadi TKI. Perempuan kelahiran Serang, Banten, 2 Juni 1979 ini tetap pada pendiriannya, menjadi TKI untuk mencari biaya berkuliah.
Di penampungan, Nuryati tetap membawa buku pelajaran, seperti matematika, kimia, dan bahasa Indonesia. Saat senggang, ia membaca-baca buku pelajaran itu supaya ilmu yang didapat selama di bangku sekolah tidak hilang.
Tak ayal, Nuryati sering kali mendapat ejekan dari sesama calon TKI.
"Ada yang bilang, ‘Mau jadi pembantu saja ribet bawa buku banyak-banyak.’ Tapi saya tetap belajar karena punya cita-cita ingin kuliah," kata dia.
Selain menghadapi keterbatasan fasilitas, Nuryati juga menyoroti prosedur administrasi yang dinilainya tidak manusiawi.
Bahkan, Nuryati mengaku dipaksa mengubah latar belakang pendidikannya menjadi lulusan SD agar dapat diberangkatkan kerja. Padahal, ia merupakan lulusan terbaik SMA Prisma, Kota Serang.
“Sesampainya di Imigrasi saya disuruh ngaku lulusan SD. Terus saya pikir ‘Waduh gimana bangsa kita dihargai, orang istilahnya lulusan SMA jadi suruh ngaku SD’," tutur dia.
Pun demikian, prosedur administrasi yang dianggap merendahkan martabat ini tak menyurutkan tekad Nuryati.
Ia akhirnya diberangkatkan ke Tabuk, Arab Saudi. Dari situlah Nuryati mulai membangun masa depannya.
“Saya dapat majikan suami istri yang dua-duanya dokter di wilayah Tabuk. Di sana saya diperlakukan dengan baik. Saya dikasih jadwal kesehatan, umroh. Majikan saya menghargai banget, dikasih waktu tidur siang saya pakai buat belajar,” kata dia.
Setelah dua tahun bekerja sebagai TKI di Arab Saudi, tahun 2000 Nuryati pulang ke Indonesia.
Penghasilan yang dia dapatkan selama bekerja ia gunakan untuk mendaftar kuliah di Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Serang. Selang 3,5 tahun, ia lulus dengan predikat cum laude.
Kemudian, dia melanjutkan pendidikan hingga jenjang S-2 di Universitas Jayabaya, Jakarta.
Setelah meraih gelar pascasarjana, Nuryati memilih menjadi dosen di almamaternya, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
Tahun 2011, Nuryati melanjutkan S3 di Universitas Padjajaran Bandung dan lulus pada tahun 2016.
“Saya lulus S3 tahun 2016, terus pernah jadi komisioner Bawaslu Banten, tetapi hanya satu periode karena tidak mendaftar lagi. Akhirnya dari tahun 2005 sampai sekarang saya jadi dosen," ucap Nuryati.