Usai Netanyahu-Trump Bahas Ancaman Iran, Israel Kembali Serang Lebanon
BEIRUT, KOMPAS.com - Beberapa jam setelah PM Israel Benjamin Netanyahu dan presiden terpilih AS Donald Trump membahas ancaman Iran, Israel kembali menyerang Lebanon pada Kamis (7/11/2024) dini hari.
Diketahui, Benjamin Netanyahu adalah salah satu pemimpin dunia pertama yang memberi selamat kepada Trump. Ia menyebut terpilihnya Trump sebagai kebangkitan terbesar dalam sejarah.
Melalui telepon pada Rabu, keduanya sepakat untuk bekerja sama demi keamanan Israel dan membahas ancaman Iran, kata kantor Netanyahu dalam sebuah pernyataan.
Namun tak lama setelah itu, militer Israel melancarkan serangan terbarunya terhadap benteng utama Hizbullah di Beirut selatan.
Rekaman AFP menunjukkan adanya kilatan cahaya dan gumpalan asap di atas pinggiran kota yang padat penduduk itu.
Tentara Israel telah mengeluarkan perintah evakuasi sebelum serangan, menyerukan orang-orang untuk meninggalkan empat lingkungan, termasuk satu di dekat bandara internasional.
Di wilayah timur Lebanon, Kementerian Kesehatan Lebanon mengatakan serangan Israel pada Rabu menewaskan 40 orang.
"Rangkaian serangan musuh Israel di Lembah Bekaa dan Baalbek menewaskan 40 orang dan melukai 53 orang," kata kementerian itu dalam sebuah pernyataan.
Kelompok Hizbullah telah berjanji bahwa hasil pemilu AS 2024 tidak akan memengaruhi perang yang meningkat pada September 2024.
Dalam pidato yang disiarkan di televisi, kepala baru Hizbullah Naim Qassem mengatakan "Kami memiliki puluhan ribu pejuang perlawanan terlatih yang siap bertempur".
"Yang akan menghentikan perang adalah medan perang," tegasnya.
Qassem, yang menjadi sekretaris jenderal Hizbullah minggu lalu, memperingatkan bahwa tidak ada tempat bagi Israel.
Sementara itu, upaya untuk mengakhiri konflik di Gaza dan Lebanon sejauh ini telah berulang kali gagal.
Pemerintahan Presiden AS Joe Biden telah memberikan tekanan pada Netanyahu untuk menyetujui gencatan senjata, tetapi AS tetap mempertahankan dukungan politik dan militernya terhadap Israel.
Banyak yang melihat kembalinya Trump ke Gedung Putih sebagai kemungkinan keuntungan bagi Israel.
"Semua presiden AS mendukung Negara Israel. Di bawah Trump, tidak ada yang akan berubah kecuali lebih banyak kemunduran," ungkap Abu Mohammed, seorang pria di Yerusalem timur mengatakan kepada AFP.
Selama kampanyenya, Trump menyebut dirinya sebagai sekutu terkuat Israel, bahkan mengatakan Biden harus membiarkan Israel menyelesaikan tugasnya melawan Hamas di Gaza.
Survei terbaru menunjukkan bahwa mayoritas warga Israel, yakni 66 persen menurut survei yang dilakukan oleh Channel 12 News Israel, berharap melihat kemenangan Trump.
Para analis mengatakan Netanyahu juga menginginkan Trump kembali, mengingat persahabatan pribadi mereka yang telah lama terjalin dan sikap agresif Amerika terhadap Iran.
Namun, beberapa pakar memperingatkan agar tidak berasumsi terlalu dini tentang posisi Trump terkait perlakuan Israel terhadap Palestina.
"Tidak sepenuhnya jelas apakah dia akan berdiam diri saja, sementara Israel terus mencaplok Tepi Barat secara de facto," kata Mairav Zonszein dari International Crisis Group.