UU MD3 Digugat, Minta Keterwakilan 30 Persen Perempuan pada Pimpinan AKD
JAKARTA, KOMPAS.com - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang uji materi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3 2014) dan UU MD3 Tahun 2018 terhadap UUD 1945.
Agenda sidang yakni perbaikan permohonan perkara nomor 169/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh Koalisi Perempuan Indonesia, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Kalyanamitra, dan Titi Anggraini.
Dalam sidang panel yang digelar pada Senin (23/12/2024) dan dipimpin Hakim Konstitusi Saldi Isra, kuasa hukum para pemohon, Sandy Yudha Pratama Hulu menyampaikan perbaikan pada bagian posita dan petitum.
Pada perbaikan petitumnya, para pemohon meminta penetapan paling sedikit 30 persen perempuan pada pimpinan alat kelengkapan dewan (AKD).
Selain itu, ada perbaikan posita atau bagian dalil yang diajukan dalam sidang tersebut.
"Di halaman 20, kami sampaikan mengenai apa yang berbeda dengan permohonan ini dibandingkan dengan Putusan Nomor 82 dan 89/PUU-XII/2014," kata Sandy.
Sementara itu, pada posita bagian b, Sandy menjelaskan hilangnya pengarusutamaan gender dalam UU MD3 karena pengabaian Putusan 82/PUU-XII/2014.
Hal ini bertentangan dengan prinsip negara hukum, sebagaimana dijamin pada Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945.
"Dalam perbaikan permohonan ini, di halaman 24, 25, 26, dan 27, kami juga sampaikan bahwa terdapat constitutional disobedience atau pembangkangan konstitusi dalam pengaturan keterwakilan perempuan pada pimpinan alat kelengkapan dewan," ucap Sandy.
Selanjutnya, pada posita bagian c, terdapat beberapa tambahan mengenai pemberian jaminan terhadap keterwakilan perempuan dalam politik yang konstitusional, sebagaimana diatur dalam Pasal 28H Ayat (2) UUD 1945.
"Di bagian ini, Yang Mulia, kami menjelaskan mengenai tindakan afirmatif sebagai salah satu sarana penguatan kapasitas perwakilan perempuan di halaman 34 sampai di halaman 37," ucapnya.
Sebelumnya, para pemohon dalam persidangan perdana yang digelar di MK pada Selasa (10/12/2024) mengungkapkan bahwa hak konstitusional mereka dirugikan, terutama dalam hal keterwakilan perempuan di lembaga legislatif.
Pemohon menyoroti rendahnya keterwakilan perempuan dalam kepemimpinan AKD yang tidak mencapai 30 persen pada periode 2024-2029.
Para pemohon kemudian mengajukan dua isu pokok, yaitu pengaturan keterwakilan perempuan di pimpinan AKD dan distribusi anggota perempuan dalam AKD secara proporsional sesuai jumlah anggota perempuan di setiap fraksi.
Pemohon juga mengusulkan agar ketentuan tersebut diinterpretasikan untuk menciptakan keberimbangan dalam komposisi anggota perempuan di berbagai badan dan komisi di DPR, seperti Badan Musyawarah, Badan Legislasi, dan Badan Anggaran, dengan ketentuan keterwakilan minimal 30 persen.
Menurut pemohon, ketidakseimbangan ini mencerminkan adanya hambatan struktural yang menghalangi partisipasi perempuan secara inklusif dalam politik.
Pemohon berharap MK dapat menyatakan sejumlah pasal yang diujikan tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan mengharuskan penafsiran yang menjamin keterwakilan perempuan dalam struktur parlemen.