Vonis Harvey Moeis, Denda Damai, dan Hilangnya Harapan Perampasan Aset
Beberapa hari lalu vonis terhadap salah satu tersangka kasus korupsi timah yang merugikan negara setidaknya Rp 300 triliun telah dibacakan majelis hakim tindak pidana korupsi Jakarta Pusat. Dalam amar putusannya, Harvey Moeis mendapatkan vonis 6,6 tahun penjara dan sanksi denda Rp 1 miliar.
Vonis majelis hakim jauh lebih ringan daripada tuntutan jaksa yaitu 12 tahun penjara. Adapun alasan majelis hakim tipikor Jakarta Pusat menjatuhkan vonis ringan kepada Harvey karena menimbang perilaku sopan dan juga masih memiliki tanggungan keluarga.
Keputusan tersebut langsung mendapat banding dari jaksa lantaran dengan potensi kerugian yang ada dan tuntutan vonis dari hakim yang sangat ringan dibandingkan dengan tuntutan jaksa penuntut umum (JPU). Masyarakat pun juga keheranan karena kasus korupsi timah ini menjadi salah satu korupsi dengan jumlah kerugian negara terbesar di sepanjang berdirinya republik ini.
Selain itu, banyak juga yang membandingkan vonis Harvey Moeis yang hanya 6,6 tahun dengan dan kerugian negara mencapai Rp 300 triliun dengan Li Jianping yang merupakan mantan ketua Partai Komunis China yang dijatuhi hukuman mati karena terbukti terlibat dalam kasus korupsi sebesar 3 miliar yuan atau setara Rp 6,6, triliun rupiah. Sungguh vonis yang tidak masuk akal.
Langkah Mundur
Pernyataan Presiden Prabowo yang mengatakan bahwa kasus korupsi dapat diselesaikan dengan metode denda damai merupakan langkah mundur dalam proses tindak pidana korupsi. Bagaimana tidak? Negara yang seharusnya hadir dalam membuat kebijakan yang berfungsi untuk melindungi keuangan negara dengan proses penegakan hukum yang efektif dan memberi efek jera, justru memberikan jaminan keringanan bagi koruptor.
Senada dengan usulan Presiden tersebut, Menteri Hukum Supratman Andi Agtas juga mendukung adanya penyelesaian kasus korupsi dengan melakukan denda damai ke kejaksaan. Padahal, UU No 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas UU No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia tepatnya di Pasal 35 huruf (k) yang berbunyi, "Menangani tindak pidana yang menyebabkan kerugian perekonomian negara dan dapat menggunakan denda damai dalam tindak pidana ekonomi berdasarkan peraturan perundang-undangan."
Adapun yang dimaksud dengan tindak pidana perekonomian yang bisa diselesaikan melalui mekanisme denda damai adalah tindak pidana perpajakan, tindak pidana kepabean, dan tindak pidana ekonomi lainnya yang diatur berdasarkan Undang-Undang. Merujuk pada penjelasan pasal Undang-Undang a quo tidak ada penyebutan bahwa penyelesaian tindak pidana melalui denda damai dapat dipaksakan terhadap tindak pidana korupsi.
Pun, Kejaksaan Agung juga telah mengklarifikasi pernyataan denda damai untuk perkara tindak pidana korupsi. Bahwa penyelesaian sengketa tindak pidana melalui denda damai merupakan otoritas yang diberikan kepada Kejaksaan Agung terhadap jenis pelanggaran tindak pidana perekonomian bukan tindak pidana korupsi. Sekaligus menepis pernyataan yang disampaikan Presiden dan Menteri Hukum.
Perlu Diingatkan
Delapan misi pemerintahan Prabowo - Gibran yang terangkum dalam Asta Cita menyebutkan bahwa salah satu target yang ingin dicapai adalah "memperkuat reformasi politik, hukum, dan birokrasi, serta memperkuat pencegahan dan pemberantasan korupsi dan narkoba." Disebutkan bahwa adanya spirit dalam melakukan penguatan dan pencegahan pemberantasan korupsi di dalamnya.
Namun, beberapa pernyataan Presiden Prabowo akhir-akhir ini justru menyatakan sebaliknya. Dari mulai keinginan mengampuni koruptor apabila mengembalikan uang hasil korupsi hingga denda damai yang dalam pengaturannya tidak diberlakukan bagi jenis pelanggaran korupsi.
Tentu publik merasa bahwa pemerintahan Prabowo justru memberikan pilihan mudah bagi koruptor karena pada saat proses penegakan hukum di Indonesia mengalami degradasi moral karena rentan terjadinya kasus suap kepada hakim. Malahan, kasus hukum bagi koruptor seakan dipermudah melalui jalur penyelesaian non pidana. Bagaimana bisa memberikan efek jera bagi koruptor, apabila penegakan kasus hukumnya lebih ringan?
Presiden Prabowo perlu diingatkan bahwa korupsi di Indonesia ini sudah mendarah daging hingga ke level paling kecil sekalipun. Hal ini perlu menjadi perhatian khusus bagi pemerintah bahwa untuk melakukan pengentasan kasus korupsi dibutuhkan kerja keras dan juga pembenahan lintas sektoral dan institusional.
Lazimnya proses pembenahan dapat dilakukan apabila adanya produk hukum yang secara eksplisit memberikan hukuman yang berat bagi koruptor serta mencegah peluang bagi terjadinya intervensi dan penyuapan kepada aparat penegak hukum.
Apabila pemerintah tidak dapat fokus dalam pembenahan hal tersebut, maka selamanya korupsi di Indonesia akan sulit untuk diberantas. Lebih parahnya, koruptor tidak akan takut untuk mencuri uang negara karena jumlah korupsi mereka lebih banyak dan tidak habis sekalipun mereka dipenjara apalagi vonis hukum yang diberikan sangat rendah.
Urung Jadi Perhatian
Salah satu hal yang paling ditakutkan oleh koruptor adalah dimiskinkan. Apabila ada aturan hukum yang dapat membuat koruptor menjadi miskin, maka akan menimbulkan ketakutan tersendiri. Berbagai hasil vonis hukum yang diberikan kepada koruptor akhir-akhir ini tidak akan memberikan efek jera. Bagaimana tidak? Vonis hukum dan potensi kerugian negara yang dihasilkan tidak ekuivalen.
Harvey Moeis menjadi contoh nyata betapa bobroknya sistem hukum penegakan korupsi di Indonesia. Bagaimana bisa seseorang yang terlibat dalam kasus korupsi dengan menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 300 triliun hanya divonis penjara 6,6 tahun dan masih ada kemungkinan berkurang apabila mendapatkan bebas bersyarat? Penegakan hukum yang tidak masuk akal dan mencederai prinsip keadilan masyarakat yang banyak dirugikan oleh adanya korupsi.
Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset sebenarnya menjadi penyegar di tengah gersangnya proses penegakan hukum bagi kasus korupsi di Indonesia. Dalam muatannya diatur terkait penyitaan aset para koruptor yang memungkinkan terjadinya proses "memiskinkan" yang dilakukan negara untuk mengembalikan potensi kerugian yang terjadi akibat korupsi.
Namun, sayangnya hingga sekarang RUU Perampasan Aset urung menjadi perhatian utama DPR karena tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Hal ini dapat dipahami bahwa political will dari partai politik, DPR, maupun eksekutif tidak menghendaki adanya pengaturan tersebut.
Hal itu dapat dijelaskan bahwa kasus korupsi terbanyak itu berasal dari anggota DPR dan juga beberapa pos eksekutif baik itu kementerian hingga kepala daerah. Sehingga apabila RUU tersebut disahkan akan mengancam eksistensi mereka. Dan, ini perlu adanya kebijakan khusus atau diskresi dari Presiden apabila benar mau menyelesaikan kasus korupsi yang terjadi di Indonesia.
Hukuman penjara atau mati sekalipun tidak efektif dalam proses penegakan tindak pidana korupsi sebab selama aset keseluruhan tidak disita dan diambil oleh negara yang berakibat semua aset koruptor hilang, maka selamanya mereka tidak akan takut untuk melakukan korupsi. Sebab harta mereka tetap akan turun ke keluarganya.
Bayu Nugroho pemerhati hukum pidana korupsi