Wacana Kepala Daerah Dipilih DPRD Disebut Langkah Mundur Demokrasi, Pakar Undip: Mau Hemat Bisa Pakai TI

Wacana Kepala Daerah Dipilih DPRD Disebut Langkah Mundur Demokrasi, Pakar Undip: Mau Hemat Bisa Pakai TI

SEMARANG, KOMPAS.com - Wacana mengubah pemilu kepala daerah (Pilkada) yang semula dipilih warga langsung untuk diganti penunjukan oleh anggota legislatif di DPRD disebut sebagai langkah mundur dalam praktik demokrasi.

"Bagi saya pembahasan kita mengenai itu adalah langkah yang sangat mundur. Kalau pemilihan itu seperti sekarang, semua orang terlibat, dan itu derajat demokratisnya jauh lebih tinggi daripada oleh DPRD," ujar Pakar Politik Universitas Diponegoro (Undip), Nur Hidayat Sardini, saat diwawancarai di Hotel Grand Candi Semarang, Rabu (18/12/2024).

Mulanya, proses Pilkada yang terlalu panjang dan mengeluarkan ongkos mahal menjadi sorotan belakangan ini.

Namun, mantan Ketua Bawaslu RI Periode 2008-2011 menilai ongkos itu sebagai investasi untuk membangun demokrasi.

"Yang harus diketahui adalah bahwa pembangunan demokrasi itu tidak dianggap sebagai cost dalam pos anggaran negara, tetapi merupakan investasi politik karena mahalnya persatuan dan kesatuan bangsa," kata sosok yang akrab disapa NHS itu.

Menurutnya, asas one person, one vote and value atau satu orang satu suara dan satu nilai sudah menjadi kesepakatan bersama dalam praktik demokrasi di Indonesia.

"Jadi, nilai kedaulatan per individu sebagai warga negara yang berdaulat otonom gitu ya, jauh lebih dimungkinkan ketimbang melalui proses yang lain," ungkap dia.

Menurut dia, ongkos Pilkada yang dinilai mahal dapat diatasi dengan memanfaatkan Teknologi Informasi dalam pelaksanaan Pilkada.

"Saya juga setuju perlu adanya perbaikan dalam praktik pemilihan langsung kita. Misalnya, kenapa kita tidak mulai menerapkan teknologi informasi?" ujar dia.

Sebab, selama ini sebagian besar anggaran pelaksanaan pemilu dialokasikan untuk menggaji penyelenggara di semua level.

Sedangkan pemanfaatan IT dinilai mampu memangkas jumlah petugas pemilu yang terlalu banyak.

"Kita tahu bahwa pembiayaan Pemilu Pilkada kita sebanyak 64 persen itu untuk membayar honorarium petugas. Jadi, kalau itu bisa dipangkas, bisa lebih baik dan hemat," ungkapnya.

Dia menyampaikan bahwa digitalisasi itu tidak serta-merta dilakukan di seluruh tahapan, tetapi pada sub-tahapan tertentu.

NHS mencontohkan praktik baik penggunaan TI dalam Pemilu di Ekuador tahun 2014.

Dalam kunjungan kerja saat dirinya menjabat sebagai DKPP, dia bersama KPU dan Bawaslu mengamati pelaksanaan selama 10 hari.

"Orang datang ke TPS, mengisi (surat suara), lalu masuk atau dipindai (scan) ke rekapitulasi nasional di situ. Tidak perlu ada PPS (penyelenggara tingkat kelurahan) dan panitia pemilihan kecamatan (PPK). Bahkan tidak perlu KPU kabupaten/kota sebenarnya, karena itu (hasil pemilu) dipindai langsung," tutur dia.

Sementara untuk pengawasannya, dia mensyaratkan seluruh alat harus auditable.

Maka, pengawas Pemilu tidak bersifat tradisional yang mengawasi secara kasat mata, tetapi juga melibatkan ahli forensik digital dalam pemilu.

"Saya setuju untuk adanya pengurangan penyelenggara Pemilu, di level nasional 5 sajalah cukup, di level provinsi bila perlu 3, di kabupaten/kota 3," lanjut dia.

Bahkan, dia menilai KPU dan Bawaslu kabupaten/kota dapat diubah menjadi badan ad hoc dalam penyelenggaraan pemilu legislatif, pemilu presiden, hingga pemilu kepala daerah yang diagendakan setiap lima tahun sekali.

 "Ndak ada teori bahwa banyaknya (penyelenggara) itu menentukan terhadap prosesnya, tapi sekretariatnya,  eksekutornya itu harus diperkuat keahliannya. Daripada komisionernya terlalu banyak lebih baik keahliannya, jadi teknokratis banget," imbuh dia.

Dia mendorong perbaikan penyelenggaraan pemilu dapat dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri).

"Pak Bima Arya itu ditunjuk oleh Presiden untuk memperbaiki Pemilu yang diklaim sebagai yang mahal tadi," ucap dia.

Lebih lanjut, NHS berharap pengkajian proses perbaikan penyelenggaraan pemilu ini dibuka kepada publik dan melibatkan semua lapisan masyarakat.

"Singkat kata bahwa Pemilu tetap bersifat inklusif sebagaimana asas one person one vote and one value, pada saat bersamaan juga cara proses pembentukan sistemnya harus tidak boleh menepikan kepentingan masyarakat pada umumnya," ujar dia. 

Sumber