Wacana Kepala Daerah Dipilih DPRD, Pakar Politik Unika: Harus Evaluasi Total Sistem Pemilu
SEMARANG, KOMPAS.com - Wacana peniadaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang biasanya dilakukan secara langsung oleh warga, untuk diganti dengan penunjukan oleh anggota legislatif di DPRD, kini tengah menjadi sorotan.
Beberapa pihak mengkritik rencana tersebut, termasuk Andreas Pandiangan, pakar politik dari Universitas Katolik (Unika) Soegijapranata Semarang.
Andreas menegaskan bahwa wacana ini belum dapat direalisasikan tanpa adanya evaluasi menyeluruh terhadap sistem pemilu dan sistem kepartaian di Indonesia.
"Harus ada evaluasi menyeluruh terhadap sistem Pemilu, sistem kepartaian. Karena akhirnya kalau kepala daerah, khususnya di provinsi ini, dipilih oleh DPRD, saya bilang sistem kepartaiannya harus diubah dan dievaluasi juga," ujarnya melalui sambungan telepon pada Selasa (17/12/2024).
Ia menilai pentingnya evaluasi tersebut mencakup seluruh aspek pemilu, mulai dari pemilu legislatif, pemilu presiden, hingga pemilu kepala daerah.
Selain itu, sistem kaderisasi anggota partai juga perlu diperbaiki untuk menghasilkan kader yang profesional.
Andreas menjelaskan bahwa pemerintah menganggap pelaksanaan Pilkada memakan anggaran besar dan tidak efisien, sehingga muncul wacana penunjukan langsung oleh DPRD.
Namun, ia menekankan bahwa praktik politik uang tetap merajalela.
"Dari sisi penyelenggaraan, memang memakan biaya untuk pelaksanaan Pemilu Pilkada. Kemarin dicoba pemilu serentak untuk mengurangi biaya, tapi tetap bermasalah; politik uang tetap terbuka," ungkapnya.
Ia juga mengkritik pelaksanaan pemilu serentak yang membuat perhatian masyarakat terpecah.
"Dari sisi penyelenggaraan, memang memakan biaya untuk pelaksanaan Pemilu Pilkada. Kemarin dicoba pemilu serentak untuk mengurangi biaya, tapi tetap bermasalah; politik uang tetap terbuka," imbuhnya.
Andreas menambahkan bahwa pada 14 Februari lalu, masyarakat lebih fokus pada pemilu presiden, sehingga tidak memperhatikan calon anggota legislatif dalam pileg.
"Yang dibuka pertama kan surat suaranya presiden, orang masih memberi perhatian, tapi begitu masuk ke DPR RI sampai ke kota, itu sudah enggak ada lagi yang mengawasi," lanjutnya.
Ia juga mengkritik pelaksanaan Pilkada yang diadakan setelah pemilu presiden, yang menurutnya membuat koalisi saat pemilu presiden terbawa hingga Pilkada dan membatasi calon potensial di daerah.
"Secara psikologi politik, koalisi pilpres itu terbawa, seperti di Jawa Tengah dan tempat-tempat lain. Itu menyulitkan bagi calon-calon karena realitanya di daerah tidak selalu selaras dengan pusat," tutupnya.
Andreas berharap pelaksanaan Pilkada bisa dilakukan satu tahun setelah pemilu presiden untuk menghindari intervensi dari pusat.
Ia juga menyoroti kegagalan partai politik dalam menyiapkan kader untuk menjadi anggota legislatif atau kepala daerah.
"Sistem kepartaian kita sangat menjadi perhatian besar. Partai tidak siap menyiapkan kader. Itu persoalannya," ungkapnya.
Ia menyarankan agar penunjukan kepala daerah oleh DPRD hanya diterapkan di level gubernur dan wakilnya, sementara pemilihan bupati/wali kota tetap dilakukan secara langsung oleh rakyat.
Jika wacana penunjukan gubernur oleh DPRD dilaksanakan, pelaksanaannya harus dipisahkan dari pemilu kabupaten/kota yang dipilih rakyat secara langsung.
"Meskipun di DPR sendiri tidak ada jaminan tidak ada politik uang, pasti ada juga dan biasanya hitungannya berdasarkan kursi, tapi akan lebih gampang diawasi oleh masyarakat dan media," katanya.
Andreas juga mendorong agar pemilu dilakukan bertahap seperti yang pernah diterapkan di Indonesia sebelumnya, dimulai dengan pemilu legislatif, diikuti pemilu presiden, dan diakhiri dengan pemilihan gubernur.
"Kalau pemilihan gubernur digeser ke DPRD, waktunya harus panjang, di mana publik mau punya kesempatan untuk memberi masukan," pesannya.
Ia mengajak masyarakat untuk memberikan hukuman kepada partai politik yang tidak menunaikan janji politiknya dengan tidak memilih partai tersebut saat pileg.
Terakhir, Andreas menekankan pentingnya evaluasi menyeluruh untuk menghindari konflik kepentingan.
"Ada 1 lagi catatan. Menurut saya ide untuk membuat evaluasi di awal di tahun ini atau tahun depan itu menjadi sangat penting. Jadi, supaya enggak mepet kan dengan 5 tahun ke depan (sebelum pemilu)," tandas dia.