Waketum MUI Sarankan Pemerintah Tunda Kenaikan PPN

Waketum MUI Sarankan Pemerintah Tunda Kenaikan PPN

JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas menyarankan agar pemerintah menunda kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen pada awal tahun 2025.

Menurutnya, kenaikan PPN 12 persen akan berdampak langsung pada kehidupan masyarakat secara luas.

"Maka untuk kebaikan semua pihak, sebaiknya pemerintah menunda pelaksanaan kenaikan PPN 12 persen tersebut," ujarnya dalam keterangan, Kamis (26/12/2024).

Anwar Abbas mengatakan, PPN 12 persen bisa diterapkan ketika kondisi dunia usaha dan ekonomi masyarakat bisa mendukung kebijakan tersebut.

Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah ini juga menyinggung keinginan pemerintah yang berkali-kali berjanji akan membuat kebijakan pro-rakyat.

Sementara banyak ahli dan masyarakat menilai kebijakan PPN 12 persen yang akan diterapkan saat ekonomi masyarakat sedang lesu adalah kebalikan dari pro-rakyat.

"Oleh karena itu jika pemerintah tetap memaksakan pemberlakuan UU tersebut pada tanggal 1 Januari (2025) besok, maka hal demikian jelas menjadi tanda tanya," ucapnya.

Anwar Abbas juga mempertanyakan kebijakan PPN 12 persen apakah sesuai dengan amanat konstitusi.

Alasan pemerintah menjalankan kebijakan PPN 12 persen karena sesuai dengan undang-undang atau dengan alasan membutuhkan anggaran besar untuk program kerja, kini membuat masyarakat resah.

"Bila hal demikian (keresahan) yang terjadi maka tentu daya beli masyarakat akan menurun. Jika daya beli masyarakat menurun maka tingkat keuntungan pengusaha dan kesejahteraan serta kemakmuran masyarakat tentu juga akan menurun," tandasnya.

Adapun sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam penjelasannya mengatakan, kenaikan PPN itu diperlukan sebagai upaya meningkatkan penerimaan negara guna mendukung stabilitas ekonomi nasional.

"Kenaikan itu sesuai dengan amanat Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Langkah ini bertujuan menjaga keseimbangan fiskal di tengah tantangan ekonomi global," kata dia dalam konferensi pers bertajuk “Paket Stimulus Ekonomi untuk Kesejahteraan” di Jakarta, Senin (16/12/2024).

Kebijakan kenaikan PPH ini, kata Sri, bersifat selektif dan hanya menyasar barang dan jasa kategori mewah atau premium.

Mengutip kemenkeu.go.id, barang dan jasa kategori mewah atau premium itu seperti kelompok makanan berharga premium, layanan rumah sakit kelas VIP, dan pendidikan berstandar internasional yang berbiaya mahal. Kata Menteri Sri, setiap melakukan pemungutan pajak, pemerintah selalu mengutamakan prinsip keadilan dan gotong-royong.

“Disebut berkeadilan karena kelompok masyarakat yang mampu akan membayarkan pajaknya sesuai dengan kewajiban berdasarkan undang-undang, sementara kelompok masyarakat yang tidak mampu akan dilindungi bahkan diberikan bantuan. Di sinilah prinsip negara hadir,” kata dia.

Pemerintah, kata Menkeu, juga memberikan stimulus dalam bentuk berbagai bantuan perlindungan sosial untuk kelompok masyarakat menengah ke bawah. Perlindungan itu di antaranya bantuan pangan dab diskon listrik 50 persen.

Selain itu, pemerintah juga akan memberi insentif perpajakan seperti, perpanjangan masa berlaku PPh Final 0,5% untuk UMKM; insentif PPh 21 DTP untuk industri pada karya; serta berbagai insentif PPN dengan total alokasi mencapai Rp265,6 T untuk tahun 2025.

“Insentif perpajakan 2025, mayoritas adalah dinikmati oleh rumah tangga, serta mendorong dunia usaha dan UMKM dalam bentuk insentif perpajakan. Meskipun ada undang-undang perpajakan dan tarif pajak, namun pemerintah tetap peka untuk mendorong barang, jasa dan pelaku ekonomi,” tutur Menkeu.

Sumber