Wamendagri Bima Arya: ASN Pelanggar UU Pilkada Bisa Diberhentikan
KOMPAS.com - Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri), Bima Arya Sugianto, menyoroti netralitas aparatur sipil negara (ASN) dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2024.
Hal itu dikatakannya usai menyerahkan kartu tanda penduduk (KTP) elektronik pada siswa siswi berusia 17 tahun di SMAN 1 Mataram, Selasa (5/11/2024).
Terkait netralitas ASN ini, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian telah mengeluarkan surat edaran dan menyampaikan arahan secara langsung.
"Pak menteri sudah mengeluarkan surat edaran juga menyampaikan arahan secara langsung tentang netralitas ASN."
"Jadi sekaligus ini membuka ruang bagi warga yang menemukan indikasi pelanggaran, silahkan dilaporkan, silahkan diproses sesuai dengan Undang Undang Kepemiluan dan ada Bawaslu di situ," ujar Bima kepada wartawan di Mataram.
Surat edaran Kemendagri tentang netralitas ASN dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) itu dikeluarkan untuk menjaga netralitas ASN saat Pemilu dan Pilkada serentak 2024.
Dia melanjutkan, apabila dalam pengawasan dan investigas Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menunjukkan bukti-bukti keterlibatan, ASN akan diproses sesuai hukum yang berlaku.
"Dari mulai sanksi teguran, peringan dan mungkin sekali kalau berat arahnya ke pemberhentian," ujar Bima.
Peraturan terkait netralitas ASN telah termuat dengan jelas dalam Pasal 2 Undang Undang nomer 5 tahun 2014.
Dijelaskan bahwa setiap pegawai ASN harus patuh pada asas netralitas dengan tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan tertentu.
Terkait dengan Laporan 104 dugaan pelanggaran netralitas ASN yang dilaporkan Bawaslu NTB ke Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), yang belum bisa memberi efek jera pada para ASN yang melanggar, ditanggapi serius oleh Bima.
Dikatakannya bahwa pihaknya akan menelusuri kembali laporan tersebut. Pihaknya akan melihat rekomendasi Bawaslu seperti apa, temuannya seperti apa.
Jika memang ada pelanggaran berat, akan disesuaikan dengan sanksi berat yang diatur menurut undang-undang.
"Tetapi lagi lagi kita harus melihat kasus per kasusnya seperti apa, karena jangan sampai juga tergiring ke arah spekulasi politik yang belum pasti, jadi betul-betul harus ada pembuktian," ujar Bima.