Wamenkeu Anggito Minta Ditjen Pajak Buru Pelaku Shadow Economy, Terutama Judi Online
Bisnis.com, JAKARTA — Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu mendorong Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) untuk menjaring para pelaku ekonomi bayangan atau shadow economy yang mengganggu penerimaan pajak Indonesia, tidak terkecuali pelaku judi online.
Melansir dari Investopedia, shadow economy mengacu pada transaksi ekonomi yang dianggap ilegal, baik karena barang atau jasa yang diperdagangkan melanggar hukum, atau karena transaksi tidak memenuhi persyaratan pelaporan pemerintah. Shadow economy disebut juga sebagai underground economy atau ekonomi bawah tanah atau ekonomi informal.
Lebih lanjut Anggito menjelaskan bahwa fakta yang terjadi, tidak sedikit masyarakat Indonesia yang melakukan judi dengan bertaruh secara daring atau online betting, seperti bertaruh soal skor sepak bola klub-klub Inggris, maupun jud-judi dalam bentuk lainnya.
"Sudah enggak kena denda, dianggap tidak haram, enggak bayar pajak lagi. Padahal kan dia menang itu. Kalau dia dapat winning itu kan nambah PPh [Pajak Penghasilan]," ungkapnya dalam Rapat Terbuka Senat Puncak Dies Natalis ke-15 & Lustrum III Sekolah Vokasi UGM Tahun 2024, Senin (28/10/2024).
Namun kenyataannya, tidak mungkin para pelaku tersebut melaporkan harta yang didapatkan dari kemenangan judi online. Hal ini lah yang harus menjadi perhatian para pegawai Ditjen Pajak.
"Jadi teman-teman pajak mesti pintar. Untuk mencari bahwa ini ada tambahan super income yang berasal dari underground economy termasuk gaming online," lanjutnya.
Persoalan ini pun menjadi pembahasan dalam kegiatan retreat yang diselenggarakan Prabowo di Magelang pada Kamis hingga Minggu pekan lalu. Anggito menyebutkan bahwa penghasilan yang didapatkan dari kegiatan tersebut tidak terekam radar pajak.
Padahal, pendapatan pajak yang tidak tertagih dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi dan menghambat pembuatan program-program publik.
"Kita membuka mata bahwa sebenarnya banyak underground economy yang tidak terdaftar, tidak terekam, dan tidak bayar pajak. Jadi yang kaya gitu yang kita ambil," jelas Anggito.
Sebelumnya, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sempat memperkirakan shadow economy yang terjadi di Indonesia berkisar 30%—40% dari produk domestik bruto (PDB).
Pemerintah sebelumnya dalam Buku Nota II Keuangan dan RAPBN 2024 menyoroti peningkatan shadow economy menjadi tantangan utama dalam pencapaian target penerimaan pajak. Dalam hal ini, meningkatnya shadow economy sebagai konsekuensi perubahan struktur perekonomian yang mengarah pada digitalisasi dan tingginya sektor informal.
Digitalisasi pada berbagai sektor ekonomi memang berdampak bagi kemudahan berusaha dan penyederhanaan proses bisnis. Sayangnya, ada potensi terjadinya peningkatan penghindaran kewajiban perpajakan jika tidak ada sistem perpajakan untuk menangkap aktivitas ekonomi digital tersebut.
Alhasil, hal ini akan memengaruhi penerimaan perpajakan di masa mendatang akibat basis perpajakan yang stagnan karena tingginya shadow economy dan rendahnya kepatuhan perpajakan.